Skip to content
Reform Kita
  • Home
  • Profile
    • Tim RBI Kemenpan
    • Rencana Aksi RBI
    • Road Map RBI
    • Makna Logo
    • Nilai dan Kode Etik
  • Modul
    • Manajemen Perubahan
    • Perundang-undangan
    • Organisasi
    • Tata Laksana
    • Manajemen SDM
    • Akuntabilitas
    • Pengawasan
    • Pelayanan Publik
  • Publikasi
    • e-Magazine
    • e-Journal
    • e-Bulletin
    • Laporan RBI
  • Tanya Jawab
  • Login
Artikel

Perbandingan Sound Governance, Dynamic Governance, dan Open Government

  • November 20, 2019November 21, 2019
  • by arwid

oleh: Lesmana Rian Andhika

Teori dependensi (dependency theory) menunjukkan ketergantungan negara-negara miskin atau berkembang kepada negara kaya (maju) berawal dari upaya mengintegrasikan negara berkembang ke dalam sistem dunia dengan seperangkat aturan yang harus dipatuhi.

Berawal dari ketergantungan tersebut berbagai krisis menimpa negara berkembang. Oleh sebab itu negara maju merasa berkewajiban membantu negara-negara yang terkena krisis tersebut dengan perantara lembaga-lembaga donor (UNDP, IMF, World Bank).

Salah satu penyebab timbulnya krisis tersebut adalah penyelenggaraan pemerintah yang tidak baik, tingginya korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan anggaran yang mengakibatkan kemiskinan suatu negara. Solusi pencegah yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga donor melalui konsep good governance. Konsep penyelenggaraan pemerintah yang baik menjadi pintu masuk bagi mereka dengan sejumlah aturan yang harus dipatuhi bila ingin mendapatkan bantuan.

Walaupun kritikan mengatakan konsep good governance merupakan konsep imperialisme dan kolonialisme dari negara maju (Farazmand, 2004). Dari kritik tersebut muncul pemikiran untuk menghubungkan kemandirian sebuah negara dengan praktek-praktek sistem dunia secara universal. Sound governance, dymanic governance, dan open government adalah konsep evolusi dari good governance. Konsep-konsep ini bertujuan untuk mencari cara dan model baru menata dan mengelola pemerintahan dengan baik untuk menyelesaikan masalah pemerintah.

Sound Governance

Farazmand (2004:10-11) menjelaskan The concept of “sound governance” is used to characterize governance with superior qualities in functions, structures, processes, values, dimensions, and elements that are necessary in governing and administration. Farazmand (2004:19) menegaskan, innovation is key to sound governance, and innovation in policy, and administration is central to sound governance as well. Membangun kemitraan dan peningkatan kapasitas masyarakat merupakan fitur kunci dari reformasi kontemporer dalam sistem tata kelola dan manajemen (Farazmand, 2004). Demikian pula, tata kelola nasional diharuskan untuk mengikuti berbagai standar dan norma internasional secara global yang dibentuk secara kolektif (Kettl, 2000; UN, 2004; Xueliana & Lu, 2016), melalui institusi supranasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan afiliasinya.

Dynamic Governance

Neo dan Chen (2007:1) menjelaskan, dynamic governance is the key to success in a world undergoing accelerating globalization and unrelenting technological advancement. Dynamism is characterized by new ideas, fresh perceptions, continual upgrading, quick actions, flexible adaptations, and creative innovations.

Bila institusi/birokrasi pemerintah yang selama ini kita kenal yang menghasilkan banyak sekali masalah, ditambah dengan peraturan yang rigid, struktur birokrasi yang besar, prosedur yang berbelit, hierarkis yang panjang, perilaku para pejabat yang korup, maka tidak mungkin institusi/birokrasi pemerintah akan berkembang secara dinamis.

Institusi pemerintah (birokrasi) yang dinamis dapat meningkatkan pembangunan dan kemakmuran suatu negara (Neo & Chen, 2007), dengan pola penyesuaian adaptif terhadap perubahan lingkungan sosio-ekonomi di mana orang melakukan transaksi bisnis dan pemerintah berinteraksi dengan berbagai kebijakan dan pengawasan sehingga dapat menimbulkan implikasi positif tidak hanya kepada pemerintah tapi terutama untuk kesejahteraan masyarakat.

Dinamisme menyiratkan pembelajaran terus menerus, eksekusi cepat yang efektif, dan perubahan tanpa henti. Perubahan tanpa henti itu akan memberikan dampak kepada daya saing ekonomi dan pembangunan sosial budaya sebuah negara. Sebagai contoh Korea Selatan, negara maju ini begitu banyak menghasilkan berbagai bentuk terobosan dengan menjadikan budaya inovasi menjadi kebiasaan dalam berbagai penyelenggaraan aktivitas negara berbasis elektronik dan ditunjang dengan infrasruktur yang begitu baik (jaringan internet tercepat). Negara Jepang dengan budaya malu, ketika mereka dinyatakan bersalah maka tidak ada keraguan bagi mereka untuk mengundurkan diri.

Contoh dari kedua negara di atas, memberikan analitis bahwa budaya akan sangat memengaruhi setiap aktivitas kegiatan pemerintah. Neo dan Chen (2007:3) memberikan argumentasi tentang cara menjadi salah satu negara maju, foundation of cultural values and beliefs can work synergistically with strong organizational capabilities to create a dynamic governance system that enables continuous change. Itu sebabnya budaya sebuah negara sering terlupakan dan selalu terfokus kepada budaya dari luar yang dianggap merupakan hal yang terbaik untuk dijadikan sebuah pilihan. Dalam konsep tata kelola pemerintah yang dinamis (dynamic governance) akan tercapai ketika kebijakan yang adaptif dijalankan. Kebijakan yang adaptif ini lebih merujuk kepada policy diffusion (Baybeck, Berry, & Siegel, 2011; Gilardi, 2016). Neo dan Chen (2007) menulis landasan dynamic governance adalah budaya kelembagaan suatu negara yang ditunjukkan dengan tiga faktor kemampuan dinamis (dynamic capabilities) yaitu berpikir ke depan (thinking ahead), berpikir kembali (thinking again), dan berpikir sepanjang mengarah kepada pelaksanaan kebijakan yang adaptif (thinking across). Ada faktor pengungkit utama untuk mengembangkan dynamic governance yaitu orang yang cakap (able people) diisi oleh orang-orang yang cerdas, gesit, dan tangkas (agile people). Namun pengaruh yang menjadi perhatian serius adalah faktor lingkungan eksternal (external environment) yang akan memengaruhi sistem pemerintahan seperti masalah keamanan, kemiskinan, politik, yang menimbulkan ketidakpastian perubahan.

Open Government

gerakan ini menjadi populer setelah adanya Memorandum on Transparency and Open Government oleh Pemerintahan Barrack Obama pada tahun 2009, dan diikuti oleh peluncuran data.gov.uk oleh pemerintah Inggris pada tahun 2010. Kemudian mulailah muncul portal data pemerintah yang terus menyebar, dibuat oleh pemerintah dan tim independen multilateral bekerja sama dengan pemerintah yang bergerak untuk mengembangkan inisiasi data terbuka pemerintah. Wirtz dan Birkmeyer (2015:12) mendefinisikan open government sebagai a multilateral, political and social process, which includes in particular transparent, collaborative and participatory action by government and administration. Open government didefinisikan sebagai tindakan dari transparansi, partisipasi, dan kolaborasi (Obama, 2009). Di Indonesia gerakan open government ini telah direspon oleh pemerintah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bila melihat data yang dikeluarkan oleh Komisi Informasi Pusat terdapat sengketa yang diajukan oleh individu dan kelompok masyarakat. Biasanya sengketa yang muncul disebabkan oleh tidak adanya transparansi data pemerintah yang semestinya dapat dikonsumsi oleh publik. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa transparansi dalam penyelenggaraan pemerintah (prinsip good governance) tidak begitu baik pelaksanaannya di beberapa negara berkembang (Ferreira, 2008; Zimmerman, 2014).

Beberapa tahun terakhir, open government telah menjadi gerakan penting di antara pemerintahan di seluruh dunia. Misalnya, dari sisi keuntungan open government lebih memudahkan masyarakat untuk akses data dan aktivitas pemerintah, perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang dapat diperoleh dengan mudah, data terbuka terkait erat dengan pembagian informasi pemerintah yang dapat digunakan oleh publik untuk berbagai tujuan. Namun kebanyakan para ahli berargumentasi potensi manfaat open government dapat merangsang transparansi, akuntabilitas, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan merangsang pertumbuhan ekonomi (Wirtz, Weyerer, & Rosch, 2017), dan juga sebagai upaya untuk memerangi tindakan korupsi (Kim, Kim, & Lee, 2009).

Ketiga konsep ini berujung kepada penerapan “inovasi pemerintah”. Idealnya dari sisi tujuan dalam lingkup organisasi pemerintah, inovasi dapat menekan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (Klareskov & Nikolov, 2007), berkontribusi terhadap kinerja dan efektivitas organisasi (Damanpour, 1991). Lingkup pelayanan inovasi dipercaya akan meningkatkan kualitas pelayanan lebih efektif, efisien dan merupakan cara untuk mengatasi masalah organisasi pemerintah dalam menghadapi tantangan dari masyarakat yang semakin komplek (Vries, Bekkers, & Tummers, 2015; McLaughlin & Kennedy, 2016), memaksimalkan sumber daya manusia dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah dengan mendorong upaya berkelanjutan (Alberti & Bertucci, 2007).

Ketiga model atau konsep tata kelola pemerintahan yang telah diuraikan sebelumnya menghadirkan cara berpikir pemerintahan dan administrasi baru, filosofi dan pendekatan baru yang memperluas keterlibatan warga negara. Untuk menerapkan konsep tata kelola pemerintahan tersebut perlu dukungan berbagai aspek utama seperti regulasi pemerintah yang mendukung, kompetensi individu yang unggul, serta iklim organisasi yang baik.

Evolusi yang dialami dari berbagai konsep tata kelola pemerintahan mulai dari good governance, sound governance, dynamic governance, sampai open government merupakan sebuah konsep rujukan untuk menutupi kelemahan dari konsep sebelumnya. Namun dalam penerapannya sering sekali menemui kegagalan, tidak seluruhnya dimensi, elemen atau pilar sebuah konsep dapat terlaksana dengan baik.

Seperti konsep dynamic governance, konsep ini lahir dilatarbelakangi dari berbagai keunggulan negara Singapura seperti teknologi, sumber daya manusia, kebijakan pemerintah, sistem politik yang stabil, birokrasi yang bersih, masyarakat yang sudah demokratis. Konsep ini akan tidak bermakna apabila dilakukan pada tempat yang sumber daya manusia masih rendah, birokrasi yang korup, intervensi politik yang berlebihan, tidak adanya merit sistem, dan tidak terdapat teknologi terkini.

Tata kelola pemerintah seperti apa pun bentuknya menyiratkan untuk menolak berbagai bentuk aktivitas pemerintah yang didasari kepada orientasi kekuasaan. Open government juga menjadi tidak bermakna apabila transparansi tidak terlaksana dengan baik. Dalam kondisi tertentu transparansi dapat mengancam stabilitas politik sebuah negara yang akan dimanfaatkan oleh beberapa kelompok untuk tujuan tertentu. Di sisi lain partisipasi masyarakat belum dianggap sebagai kekuatan positif untuk merumuskan setiap tindakan dan kebijakan pemerintah. Beberapa kasus yang telah dibahas sebelumnya juga menunjukkan partisipasi masyarakat tidak memberikan arti yang signifikan dalam memberikan pemikiran yang dapat memperbaiki kinerja dan kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, beberapa ahli dan praktisi mengklaim inovasi sebagai jawaban atas masalah yang dihadapi oleh pemerintah dengan mengutamakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.

Saran yang dapat diajukan sebagai konsekuensi dari pembahasan dalam artikel ini adalah pertama bagi pemerintah, dibutuhkan usaha yang lebih untuk mempertimbangkan konsep apa yang harus diadopsi dan sesuai. Konsep apapun yang diadopsi harus memerhatikan kualitas sumber daya manusia yang handal didukung oleh kebijakan pemerintah yang selalu adaptif dalam menyikapi setiap perubahan lingkungan seperti dinamika politik, teknologi terkini, dan sosial budaya masyarakat. Kedua bagi masyarakat, penerapan konsep tata kelola pemerintahan apapun yang diadopsi menjadi pintu untuk lebih aktif dalam pengawasan aktivitas pemerintah, mampu memberikan pendapat sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan pemerintah, dan sebagai jalan untuk lebih kritis dan demokratis dalam menyikapi kebijakan pemerintah.

Penulis: Lesmana Rian Andhika

Sumber: Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik 8 (2), 87-102 (akses: jurnal.dpr.go.id)

Artikel

Pangkas Eselonisasi Birokrasi

  • November 20, 2019November 20, 2019
  • by arwid

oleh: Eko Prasojo

Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya di MPR, 20 Oktober 2019 lalu, menyampaikan akan memangkas struktur eselon 3 (jabatan administrator), eselon 4 (jabatan pengawas), dan eselon 5 (jabatan pelaksana) di birokrasi.

Pemangkasan ini bertujuan menciptakan birokrasi yang lebih ramping dalam rangka mendukung iklim investasi yang lebih baik dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Presiden Jokowi juga berjanji akan memangkas berbagai regulasi melalui omnibus law.

Bagaimana memahami dan melaksanakan visi Presiden tersebut?

Hierarkis dan birokratis

Gagasan untuk memangkas eselon 3, 4, dan 5 di birokrasi sejatinya sudah masuk dalam program percepatan Reformasi Birokrasi tahun 2012. Gagasan ini pun sudah dilaksanakan di BPKP pada masa itu dengan menghapus 145 unit struktur dan menggantinya dengan jabatan fungsional auditor.

Persoalan mendasar birokrasi Indonesia adalah struktur yang sangat hierarkis sehingga menyebabkan proses pengambilan keputusan dan tindakan administrasi pemerintahan menjadi sangat lamban. Hal ini pula yang menyebabkan sulitnya mendongkrak daya saing Indonesia.

Sangat hierarkisnya struktur birokrasi Indonesia sebenarnya merupakan akibat dari orientasi struktural yang masih dominan dalam pengelolaan pemerintahan. Hal ini merupakan ciri model Weberian yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda.

Tujuan birokrasi yang hierarkis ini adalah memastikan bahwa berbagai kebijakan pemerintah memenuhi asas kepatuhan (compliance principle) dan setiap level birokrasi bekerja secara berlapis untuk melakukan pengecekan sekaligus memberikan telaah kepada atasannya.

Dengan kondisi kompetensi dan budaya aparatur negara yang belum baik, struktur birokrasi yang hierarkis ini menyebabkan penundaan berbagai keputusan dan tindakan administrasi pemerintahan.

Sebagai ilustrasi, jika ada persoalan pemerintahan dan suatu rencana yang harus diselesaikan, menteri/pimpinan lembaga akan mendisposisi surat kepada pejabat eselon 1 (JPT Madya), lalu berlanjut kepada eselon 2 (JPT Pratama), berlanjut kepada eselon 3 (Administrator), berlanjut kepada eselon 4 (Pengawas), dan di beberapa kementerian atau lembaga berlanjut sampai eselon 5 (Pelaksana).

Pada akhirnya yang akan melakukan telaah/analisis atas suatu persoalan pemerintahan adalah level staf (pelaksana). Secara berjenjang ke atas, hasil akhir analisis staf akan disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga melalui proses hierarkis tersebut.

Gagasan Presiden Jokowi untuk menghapus eselon 3, 4, dan 5 berkaitan dengan beberapa hal.

Pertama, membangun profesionalisme birokrasi. Selama ini orientasi para pejabat birokrasi Indonesia masih pada jabatan struktural, karena setiap jabatan struktural diberikan otoritas untuk mengelola anggaran, melaksanakan program dan kegiatan, SDM, serta berbagai fasilitas jabatan yang diberikan. Orientasi struktural ini menghilangkan keahlian pejabat karena berbagai persoalan dan rencana pemerintahan akan ditelaah oleh staf secara hierarkis. Sering kali keputusan pemerintahan tingkat tinggi merupakan telaah staf di tingkat pelaksana dan tanpa melalui pembahasan yang lengkap dari pejabat pimpinan.

Kedua, menciptakan akuntabilitas pemerintahan. Dalam praktiknya, struktur birokrasi yang hierarkis selain menimbulkan penundaan (delay) dalam pengambilan keputusan juga menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang. Semakin berlapis struktur hierarki, semakin tinggi potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Ide memangkas eselonisasi birokrasi ini bertujuan memperkuat tanggung jawab setiap pejabat atas keputusan dan tindakan administrasi yang dibuatnya, sekaligus memotong mata rantai potensi penyalahgunaan.

Ketiga, menciptakan efisiensi dan efektivitas birokrasi. Struktur birokrasi yang gemuk membutuhkan nutrisi anggaran yang banyak. Pemangkasan eselon birokrasi akan mengurangi berbagai anggaran yang tidak diperlukan untuk fasilitas jabatan, program dan kegiatan pembangunan yang tak relevan, SDM yang tidak kompeten, serta berbagai potensi perilaku menyimpang pejabat yang mengakibatkan penyalahgunaan wewenang dan menimbulkan kerugian negara. Pemangkasan birokrasi merupakan upaya menciptakan efisiensi, sekaligus memperkuat efektivitas pemerintahan.

Membangun birokrasi dinamis

Untuk bisa memperkuat daya saing global, Indonesia harus memiliki birokrasi yang dinamis, bukan birokrasi yang hierarkis. Ciri-ciri birokrasi yang dinamis antara lain memiliki fleksibilitas yang tinggi, kapabilitas yang baik, adaptasi perubahan yang cepat, serta budaya yang unggul. Fleksibilitas yang tinggi dicerminkan dengan proses bisnis yang sederhana, struktur organisasi yang ramping, dan berbasis kinerja.

Birokrasi Indonesia harus berubah dari berbasis tugas pokok fungsi ke berbasis kinerja (hasil dan dampak). Setiap unit organisasi dan setiap instansi pemerintah harus dapat menunjukkan peran dan kontribusi secara langsung dalam pencapaian target indikator kinerja pemerintah. Jika tidak, unit atau organisasi pemerintah dapat dihapuskan.

Birokrasi yang kapabel harus memiliki kemampuan berpikir ke depan dalam jangka panjang, selalu membuat berbagai inovasi dan perubahan, serta membandingkan berbagai kemajuan yang dicapai negara lain atau pihak swasta. Dengan kondisi saat birokrasi sangat hierarkis dan berbasis peraturan perundang-undangan (rule based bureaucracy), para aparatur sipil negara (ASN) sulit berinovasi. Selain terikat dengan berbagai struktur yang ada, para pegawai ASN juga harus melaksanakan berbagai peraturan yang sangat kaku.

Rencana pemerintah untuk memangkas berbagai peraturan perundang-undangan dan menggantikannya dengan omnibus law sejalan dengan keinginan untuk menciptakan birokrasi yang inovatif. Dalam negara yang desentralistik, omnibus law harus diikuti dengan review secara komprehensif berbagai peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Review ini harus dilakukan secara cepat dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti perguruan tinggi di daerah. Jika tidak, omnibus law tak akan efektif karena sebagian besar proses perizinan menjadi kewenangan pemda.

Birokrasi yang dinamis juga harus memiliki budaya yang unggul, seperti antikorupsi, meritokrasi, dan berorientasi pada kinerja. Fase perubahan budaya birokrasi dalam sejarah Indonesia belum pernah dilakukan secara terstruktur dan jangka panjang. Meskipun lima tahun lalu Presiden Jokowi mencanangkan Revolusi Mental, ini belum dapat dilihat hasilnya. Hal ini menurut penulis akan menjadi hambatan besar dalam perubahan struktur birokrasi Indonesia. Tak ada kata lain, Presiden Jokowi harus meletakkan perubahan budaya birokrasi sebagai prioritas pembangunan lima tahun ke depan dan melaksanakannya secara sungguh-sungguh.

Memangkas birokrasi tidaklah cukup untuk meningkatkan daya saing global. Pemerintah harus memperkuat kualitas kebijakan publik. Problem birokrasi Indonesia adalah ketidakmampuan membuat kebijakan berbasis data, informasi, dan pengetahuan, serta berlaku jangka panjang. Apalagi dengan perubahan yang bersifat disruptif, dibutuhkan pegawai ASN yang mampu mempersiapkan kebijakan publik yang baik.

Pemangkasan eselonisasi birokrasi, dengan demikian, bukanlah agenda tunggal karena harus diikuti dengan berbagai perubahan lain. Jika perintah Presiden mengenai pemangkasan birokrasi ini akan dilakukan, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan.

Pertama, dengan panduan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, setiap kementerian atau lembaga mengidentifikasi dan mengusulkan jabatan eselon 3, 4, dan 5 yang dapat dipangkas. Kriteria jabatan diprioritaskan untuk jabatan yang memiliki kedekatan dengan jabatan fungsional.

Kedua, mempersiapkan dan memperkuat jabatan fungsional dengan pola karier jelas, insentif memadai dan memotivasi pegawai ASN, serta membangun kebanggaan bekerja dalam jabatan fungsional.

Ketiga, melakukan pemetaan nasional tentang kebutuhan jabatan fungsional sehingga para pegawai tak hanya bekerja di lingkungan lamanya, tetapi bisa disebarkan ke berbagai kementerian, lembaga, dan pemda. Dengan demikian, program pemangkasan eselonisasi ini juga akan mengurangi silo mentality dan ego sektoral.

Keempat, mempersiapkan manajemen perubahan, termasuk skema pensiun dini bagi pegawai ASN yang tak lagi memiliki kompetensi dan berkeinginan memilih karier kedua di swasta. Perubahan ini memang tak mudah. Akan tetapi, jika kita tak melakukannya hari ini, niscaya besok tak akan pernah selesai.

Penulis: Eko Prasojo (Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia).

Sumber: Harian Kompas, 26 Oktober 2019

Posts navigation

1 2 3

Kalendar

August 2022
M T W T F S S
« Jul    
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  

Tentang Kami

Tim RBI Kementerian PANRB dibentuk melalui Surat Keputusan Menteri No. 14 Tahun 2018 dengan Ketua Pelaksana Sekretaris Kementerian PANRB.

Kontak Kami

021 – 7398382 ext:2095
set_rbi@menpan.go.id

Sekretariat RBI Kementerian PANRB
Jl. Jendral Sudirman Kav. 69 Lantai 6 Jakarta 12190

Media Sosial Kementerian PANRB

Kenal lebih dekat !

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube
Reform Kita - 2019
Theme by Colorlib Powered by WordPress