
Perbandingan Sound Governance, Dynamic Governance, dan Open Government
oleh: Lesmana Rian Andhika
Teori dependensi (dependency theory) menunjukkan ketergantungan negara-negara miskin atau berkembang kepada negara kaya (maju) berawal dari upaya mengintegrasikan negara berkembang ke dalam sistem dunia dengan seperangkat aturan yang harus dipatuhi.
Berawal dari ketergantungan tersebut berbagai krisis menimpa negara berkembang. Oleh sebab itu negara maju merasa berkewajiban membantu negara-negara yang terkena krisis tersebut dengan perantara lembaga-lembaga donor (UNDP, IMF, World Bank).
Salah satu penyebab timbulnya krisis tersebut adalah penyelenggaraan pemerintah yang tidak baik, tingginya korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan anggaran yang mengakibatkan kemiskinan suatu negara. Solusi pencegah yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga donor melalui konsep good governance. Konsep penyelenggaraan pemerintah yang baik menjadi pintu masuk bagi mereka dengan sejumlah aturan yang harus dipatuhi bila ingin mendapatkan bantuan.
Walaupun kritikan mengatakan konsep good governance merupakan konsep imperialisme dan kolonialisme dari negara maju (Farazmand, 2004). Dari kritik tersebut muncul pemikiran untuk menghubungkan kemandirian sebuah negara dengan praktek-praktek sistem dunia secara universal. Sound governance, dymanic governance, dan open government adalah konsep evolusi dari good governance. Konsep-konsep ini bertujuan untuk mencari cara dan model baru menata dan mengelola pemerintahan dengan baik untuk menyelesaikan masalah pemerintah.
Sound Governance
Farazmand (2004:10-11) menjelaskan The concept of “sound governance†is used to characterize governance with superior qualities in functions, structures, processes, values, dimensions, and elements that are necessary in governing and administration. Farazmand (2004:19) menegaskan, innovation is key to sound governance, and innovation in policy, and administration is central to sound governance as well. Membangun kemitraan dan peningkatan kapasitas masyarakat merupakan fitur kunci dari reformasi kontemporer dalam sistem tata kelola dan manajemen (Farazmand, 2004). Demikian pula, tata kelola nasional diharuskan untuk mengikuti berbagai standar dan norma internasional secara global yang dibentuk secara kolektif (Kettl, 2000; UN, 2004; Xueliana & Lu, 2016), melalui institusi supranasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan afiliasinya.
Dynamic Governance
Neo dan Chen (2007:1) menjelaskan, dynamic governance is the key to success in a world undergoing accelerating globalization and unrelenting technological advancement. Dynamism is characterized by new ideas, fresh perceptions, continual upgrading, quick actions, flexible adaptations, and creative innovations.
Bila institusi/birokrasi pemerintah yang selama ini kita kenal yang menghasilkan banyak sekali masalah, ditambah dengan peraturan yang rigid, struktur birokrasi yang besar, prosedur yang berbelit, hierarkis yang panjang, perilaku para pejabat yang korup, maka tidak mungkin institusi/birokrasi pemerintah akan berkembang secara dinamis.
Institusi pemerintah (birokrasi) yang dinamis dapat meningkatkan pembangunan dan kemakmuran suatu negara (Neo & Chen, 2007), dengan pola penyesuaian adaptif terhadap perubahan lingkungan sosio-ekonomi di mana orang melakukan transaksi bisnis dan pemerintah berinteraksi dengan berbagai kebijakan dan pengawasan sehingga dapat menimbulkan implikasi positif tidak hanya kepada pemerintah tapi terutama untuk kesejahteraan masyarakat.
Dinamisme menyiratkan pembelajaran terus menerus, eksekusi cepat yang efektif, dan perubahan tanpa henti. Perubahan tanpa henti itu akan memberikan dampak kepada daya saing ekonomi dan pembangunan sosial budaya sebuah negara. Sebagai contoh Korea Selatan, negara maju ini begitu banyak menghasilkan berbagai bentuk terobosan dengan menjadikan budaya inovasi menjadi kebiasaan dalam berbagai penyelenggaraan aktivitas negara berbasis elektronik dan ditunjang dengan infrasruktur yang begitu baik (jaringan internet tercepat). Negara Jepang dengan budaya malu, ketika mereka dinyatakan bersalah maka tidak ada keraguan bagi mereka untuk mengundurkan diri.
Contoh dari kedua negara di atas, memberikan analitis bahwa budaya akan sangat memengaruhi setiap aktivitas kegiatan pemerintah. Neo dan Chen (2007:3) memberikan argumentasi tentang cara menjadi salah satu negara maju, foundation of cultural values and beliefs can work synergistically with strong organizational capabilities to create a dynamic governance system that enables continuous change. Itu sebabnya budaya sebuah negara sering terlupakan dan selalu terfokus kepada budaya dari luar yang dianggap merupakan hal yang terbaik untuk dijadikan sebuah pilihan. Dalam konsep tata kelola pemerintah yang dinamis (dynamic governance) akan tercapai ketika kebijakan yang adaptif dijalankan. Kebijakan yang adaptif ini lebih merujuk kepada policy diffusion (Baybeck, Berry, & Siegel, 2011; Gilardi, 2016). Neo dan Chen (2007) menulis landasan dynamic governance adalah budaya kelembagaan suatu negara yang ditunjukkan dengan tiga faktor kemampuan dinamis (dynamic capabilities) yaitu berpikir ke depan (thinking ahead), berpikir kembali (thinking again), dan berpikir sepanjang mengarah kepada pelaksanaan kebijakan yang adaptif (thinking across). Ada faktor pengungkit utama untuk mengembangkan dynamic governance yaitu orang yang cakap (able people) diisi oleh orang-orang yang cerdas, gesit, dan tangkas (agile people). Namun pengaruh yang menjadi perhatian serius adalah faktor lingkungan eksternal (external environment) yang akan memengaruhi sistem pemerintahan seperti masalah keamanan, kemiskinan, politik, yang menimbulkan ketidakpastian perubahan.
Open Government
gerakan ini menjadi populer setelah adanya Memorandum on Transparency and Open Government oleh Pemerintahan Barrack Obama pada tahun 2009, dan diikuti oleh peluncuran data.gov.uk oleh pemerintah Inggris pada tahun 2010. Kemudian mulailah muncul portal data pemerintah yang terus menyebar, dibuat oleh pemerintah dan tim independen multilateral bekerja sama dengan pemerintah yang bergerak untuk mengembangkan inisiasi data terbuka pemerintah. Wirtz dan Birkmeyer (2015:12) mendefinisikan open government sebagai a multilateral, political and social process, which includes in particular transparent, collaborative and participatory action by government and administration. Open government didefinisikan sebagai tindakan dari transparansi, partisipasi, dan kolaborasi (Obama, 2009). Di Indonesia gerakan open government ini telah direspon oleh pemerintah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bila melihat data yang dikeluarkan oleh Komisi Informasi Pusat terdapat sengketa yang diajukan oleh individu dan kelompok masyarakat. Biasanya sengketa yang muncul disebabkan oleh tidak adanya transparansi data pemerintah yang semestinya dapat dikonsumsi oleh publik. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa transparansi dalam penyelenggaraan pemerintah (prinsip good governance) tidak begitu baik pelaksanaannya di beberapa negara berkembang (Ferreira, 2008; Zimmerman, 2014).
Beberapa tahun terakhir, open government telah menjadi gerakan penting di antara pemerintahan di seluruh dunia. Misalnya, dari sisi keuntungan open government lebih memudahkan masyarakat untuk akses data dan aktivitas pemerintah, perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang dapat diperoleh dengan mudah, data terbuka terkait erat dengan pembagian informasi pemerintah yang dapat digunakan oleh publik untuk berbagai tujuan. Namun kebanyakan para ahli berargumentasi potensi manfaat open government dapat merangsang transparansi, akuntabilitas, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan merangsang pertumbuhan ekonomi (Wirtz, Weyerer, & Rosch, 2017), dan juga sebagai upaya untuk memerangi tindakan korupsi (Kim, Kim, & Lee, 2009).
Ketiga konsep ini berujung kepada penerapan “inovasi pemerintahâ€. Idealnya dari sisi tujuan dalam lingkup organisasi pemerintah, inovasi dapat menekan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (Klareskov & Nikolov, 2007), berkontribusi terhadap kinerja dan efektivitas organisasi (Damanpour, 1991). Lingkup pelayanan inovasi dipercaya akan meningkatkan kualitas pelayanan lebih efektif, efisien dan merupakan cara untuk mengatasi masalah organisasi pemerintah dalam menghadapi tantangan dari masyarakat yang semakin komplek (Vries, Bekkers, & Tummers, 2015; McLaughlin & Kennedy, 2016), memaksimalkan sumber daya manusia dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah dengan mendorong upaya berkelanjutan (Alberti & Bertucci, 2007).
Ketiga model atau konsep tata kelola pemerintahan yang telah diuraikan sebelumnya menghadirkan cara berpikir pemerintahan dan administrasi baru, filosofi dan pendekatan baru yang memperluas keterlibatan warga negara. Untuk menerapkan konsep tata kelola pemerintahan tersebut perlu dukungan berbagai aspek utama seperti regulasi pemerintah yang mendukung, kompetensi individu yang unggul, serta iklim organisasi yang baik.
Evolusi yang dialami dari berbagai konsep tata kelola pemerintahan mulai dari good governance, sound governance, dynamic governance, sampai open government merupakan sebuah konsep rujukan untuk menutupi kelemahan dari konsep sebelumnya. Namun dalam penerapannya sering sekali menemui kegagalan, tidak seluruhnya dimensi, elemen atau pilar sebuah konsep dapat terlaksana dengan baik.
Seperti konsep dynamic governance, konsep ini lahir dilatarbelakangi dari berbagai keunggulan negara Singapura seperti teknologi, sumber daya manusia, kebijakan pemerintah, sistem politik yang stabil, birokrasi yang bersih, masyarakat yang sudah demokratis. Konsep ini akan tidak bermakna apabila dilakukan pada tempat yang sumber daya manusia masih rendah, birokrasi yang korup, intervensi politik yang berlebihan, tidak adanya merit sistem, dan tidak terdapat teknologi terkini.
Tata kelola pemerintah seperti apa pun bentuknya menyiratkan untuk menolak berbagai bentuk aktivitas pemerintah yang didasari kepada orientasi kekuasaan. Open government juga menjadi tidak bermakna apabila transparansi tidak terlaksana dengan baik. Dalam kondisi tertentu transparansi dapat mengancam stabilitas politik sebuah negara yang akan dimanfaatkan oleh beberapa kelompok untuk tujuan tertentu. Di sisi lain partisipasi masyarakat belum dianggap sebagai kekuatan positif untuk merumuskan setiap tindakan dan kebijakan pemerintah. Beberapa kasus yang telah dibahas sebelumnya juga menunjukkan partisipasi masyarakat tidak memberikan arti yang signifikan dalam memberikan pemikiran yang dapat memperbaiki kinerja dan kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, beberapa ahli dan praktisi mengklaim inovasi sebagai jawaban atas masalah yang dihadapi oleh pemerintah dengan mengutamakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.
Saran yang dapat diajukan sebagai konsekuensi dari pembahasan dalam artikel ini adalah pertama bagi pemerintah, dibutuhkan usaha yang lebih untuk mempertimbangkan konsep apa yang harus diadopsi dan sesuai. Konsep apapun yang diadopsi harus memerhatikan kualitas sumber daya manusia yang handal didukung oleh kebijakan pemerintah yang selalu adaptif dalam menyikapi setiap perubahan lingkungan seperti dinamika politik, teknologi terkini, dan sosial budaya masyarakat. Kedua bagi masyarakat, penerapan konsep tata kelola pemerintahan apapun yang diadopsi menjadi pintu untuk lebih aktif dalam pengawasan aktivitas pemerintah, mampu memberikan pendapat sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan pemerintah, dan sebagai jalan untuk lebih kritis dan demokratis dalam menyikapi kebijakan pemerintah.
Penulis: Lesmana Rian Andhika
Sumber: Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik 8 (2), 87-102 (akses: jurnal.dpr.go.id)