Skip to content
Reform Kita
  • Home
  • Profile
    • Tim RBI Kemenpan
    • Rencana Aksi RBI
    • Road Map RBI
    • Makna Logo
    • Nilai dan Kode Etik
  • Modul
    • Manajemen Perubahan
    • Perundang-undangan
    • Organisasi
    • Tata Laksana
    • Manajemen SDM
    • Akuntabilitas
    • Pengawasan
    • Pelayanan Publik
  • Publikasi
    • e-Magazine
    • e-Journal
    • e-Bulletin
    • Laporan RBI
  • Tanya Jawab
  • Login
Artikel

5 Faktor Krusial dalam Manajemen Talenta

  • June 23, 2020July 7, 2020
  • by key

Oleh: Adi Junjunan Mustafa – Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian PANRB

Pada tahun 2000 McKinsey & Company melakukan survei terhadap 13.000 manager pada 112 perusahaan besar di Amerika. Ini kelanjutan studi mereka setelah tahun 1997 mereka menggaungkan terminologi the war for talent. Di era bekerja berbasis pengetahuan, talenta pada perusahaan merupakan aset paling penting yang membentuk nilai dan menjamin tercapainya tujuan strategis perusahaan.

Adanya perang talenta ini membuat perusahaan atau organisasi mengubah secara radikal cara memperlakukan pegawai. Diekstrak dari survei di atas, berikut ini lima faktor yang harus dilakukan organisasi dalam manajemen talenta:

1. Menanamkan mindset tentang manajemen talenta pada semua level manajer, mulai dari pucuk pimpinan. Setiap manajer memiliki pemikiran fundamental untuk menyatukan tujuan strategis organisasi dengan pengelolaan talenta. Mereka terus-menerus menciptakan, menumbuhkan, dan mendukung para talenta.

2. Menciptakan Employee Value Proposition (EVP) untuk menarik talenta bergabung dan mempertahankan mereka (talent retention). EVP secara sederhana menjawab pertanyaan “mengapa para talenta mau bekerja di organisasi ini?”. Jawabannya karena:

i) ada suasana kerja yang menyenangkan: orang senang dengan pekerjaan yang menarik, menantang, dan mereka ingin mendapatkan passion dan bermakna dalam bekerja;

ii) ini organisasi yang hebat: manajemennya bagus, nilai dan budaya organisasinya mengagumkan, pemimpinnya keren-keren, juga menekankan dan menghargai kinerja, serta lingkungan orang-orang yang terbuka dan saling mempercayai;

iii) ada kesejahteraan dan penghargaan: orang suka diberi imbalan uang sepadan dengan nilai yang mereka hasilkan, juga mendapatkan penghargaan sesuai dengan kontribusi yang mereka berikan;

iv) ada penumbuhan dan pengembangan: para talenta ingin organisasi membantu mereka mengembangkan keterampilan mereka, karena dengan meningkatnya kompetensi ini mereka semakin valuable di tengah persaingan yang makin ketat.

3) Terus merekrut talenta hebat. Talenta ini harus mengisi seluruh level organisasi, bukan hanya pada entry-level. Organisasi bukan lagi membeli orang untuk bekerja, akan tetapi “menjual” nama perusahaan untuk dapat membuat talenta terbaik bergabung di organisasinya.

4) Menumbuhkan pemimpin hebat.Pemimpin yang dibutuhkan adalah yang mampu menggali, menjadi mentor, dan menumbuhkan para talenta yang mereka pimpin. Keberadaan pemimpin yang atentif sangat berpengaruh pada passion dan kinerja para talenta. Mereka selalu memberikan bimbingan untuk meningkatkan kompetensi para talenta dengan cara yang elegan. Coaching dan counseling mereka lakukan dengan cara yang menyenangkan. Para talenta pun akan terus merasakan penambahan value yang semakin tumbuh dan berkembang pada dirinya.

5) Melakukan diferensiasi secara tegas terhadap high-performers dengan mereka yang berkinerja sedang dan kurang. Ini dilakukan dengan proses pemetaan yang akurat dan bijaksana. Penetapan dan pengukuran indikator kinerja menjadi masalah krusial. Mesti dilakukan dialog kinerja yang matang. Pihak perusahaan dan para talenta mencari titik paling optimal dalam penentuan indikator kinerja ini. Kemudian mesti dilakukan juga pembedaan perlakuan dalam bentuk reward system dan juga kesempatan melakukan pengembangan kompetensi. Hanya dengan cara ini people-management akan berlangsung tepat sasaran.

Artikel

”Normal Baru” Birokrasi

  • June 17, 2020June 17, 2020
  • by arwid

oleh: Eko Prasojo (Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UI)

Wabah Covid-19 yang sudah berlangsung di Indonesia tiga bulan ini memberikan dampak luar biasa, tidak saja pada aspek ekonomi, tetapi juga pada perubahan interaksi sosial di masyarakat ataupun pola kerja, baik di swasta maupun birokrasi.

Selain aspek penyembuhan pasien Covid-19 dan berbagai program pencegahan, seperti pembatasan sosial berskala besar , pemerintah saat ini tengah mempersiapkan kebijakan normal baru (new normal). Menteri Kesehatan juga telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di tempat kerja perkantoran dan industri sebagai langkah mempersiapkan ruang kerja baru di era normal baru.

Apa makna normal baru untuk birokrasi publik dan apa yang harus dipersiapkan untuk melaksanakan pekerjaan birokrasi di era normal baru ini? Bagaimana kita memanfaatkan momentum krisis ini untuk perubahan fundamental birokrasi?

Ruang kerja baru birokrasi

Setiap kesulitan memberikan hikmah tersendiri. Wabah Covid-19 ini telah memaksa berbagai pihak, mulai dari sekolah, universitas, perkantoran, industri, hingga birokrasi bertransformasi digital secara cepat dengan memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Working from home (WfH) atau bekerja dari rumah mendadak menjadi sangat terkenal dan menggantikan berbagai aktivitas manusia yang selama ini dilakukan secara manual.

Situasi yang memaksa ini berhasil secara cepat mengubah pola kerja baru manusia yang didukung oleh kemajuan teknologi. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) di perguruan tinggi menjadi model perkuliahan yang biasa meskipun dengan berbagai keterbatasan.

Wabah Covid-19 telah menciptakan ruang kerja baru di berbagai lapangan kerja, termasuk di birokrasi publik. Ruang kerja baru ini merupakan transformasi digital, yaitu proses mempersiapkan perubahan birokrasi dengan mempergunakan berbagai perkembangan teknologi mutakhir, seperti teknologi informasi dan komunikasi, teknologi robot, dan teknologi nano. Ruang kerja baru ini membutuhkan lima komponen utama perubahan.

Pertama, ruang kerja yang fleksibel dan berjejaring. Aparatur sipil negara (ASN) di era normal baru tak harus setiap hari ke kantor karena berbagai pekerjaan dapat dilakukan di mana saja, termasuk di rumah. Dengan demikian, presensi (kehadiran) pegawai di kantor dapat diatur sedemikian rupa berdasarkan tingkat urgensi.

Di samping mencegah terjadinya penularan Covid-19, kehadiran minimal pegawai di kantor dapat mengurangi kemacetan, efisiensi penggunaan bahan bakar kendaraan dan ongkos transportasi, biaya rapat yang selama ini dibutuhkan, serta kualitas dan keseimbangan kehidupan dengan keluarga.

Kedua, penyiapan infrastruktur dan pembelajaran superaplikasi (superapp) yang memungkinkan kantor virtual dan digital. Gedung-gedung perkantoran saat ini menjadi semakin berkurang kebutuhannya dalam era normal baru. Pemerintah harus melakukan transformasi menyeluruh terhadap proses bisnis dan struktur organisasi birokrasi publik dengan menciptakan teknologi superapp yang memungkinkan berbagai keperluan pekerjaan dilakukan dan diperoleh secara digital.

Rapat, interaksi antarpegawai, proses kerja antarunit pemerintah, pelayanan kepada masyarakat, dan seluruh basis data pekerjaan bisa dilakukan melalui media digital. Dengan demikian, biaya pemeliharaan gedung perkantoran akan berkurang, serta kebutuhan anggaran untuk membangun dan memelihara superapp sebagai ruang kerja baru semakin meningkat, termasuk kebutuhan jaringan Wi-Fi bagi ASN. Bahkan pekerjaan manusia kelak di sektor pelayanan publik akan digantikan agen-agen robot (robotic agents) yang memiliki kemampuan kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI).

Ketiga, peningkatan kapabilitas ASN dalam berinteraksi dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk dengan big data dan AI, sangat dibutuhkan. Hal ini sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah karena profil masyarakat Indonesia saat ini, berdasarkan Susenas BPS 2017, didominasi oleh generasi milenial, yaitu generasi Y (33,75 persen) dan generasi Z (29,23 persen).

Adapun generasi X hanya 25,74 persen. Generasi milenial seperti diketahui sangat adaptif dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pemerintah perlu segera membuat program untuk mengintegrasikan kapabilitas generasi milenial ini dalam birokrasi yang digital.

Keempat, dalam era normal baru pasca-Covid-19 harus segera dilakukan penataan bisnis proses dan alur kerja birokrasi. Karena tidak semua pegawai harus datang ke kantor dan sebagian pekerjaan dan pelayanan publik dilakukan secara digital, maka proses bisnis pemerintahan dan pelayanan harus segera disederhanakan dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Seperti pelayanan di swasta yang saat ini dilakukan secara daring, misalnya Tokopedia dan Traveloka, pelayanan publik juga dapat dilakukan secara lebih mudah berbasis daring.

Banyak proses bisnis yang harus dipangkas dan struktur organisasi yang harus segera dipotong. Era normal baru birokrasi akan mempercepat berbagai pelayanan kepada masyarakat dan pengambilan keputusan.

Kelima, era normal baru birokrasi membutuhkan ASN berkualitas dan berkompetensi untuk mengelola ruang kerja baru. Jumlahnya mungkin tak terlalu banyak, tetapi bisa melakukan berbagai pekerjaan secara cepat dan berkualitas. Karena itu, perlu talent pool management yang mengelola sumber daya ASN yang unggul dan dapat dipergunakan di seluruh birokrasi di Indonesia (pusat, provinsi, kabupaten/kota).

Indikator kinerja yang jelas

Era normal baru birokrasi membutuhkan indikator kinerja yang jelas, baik di level individu maupun di level organisasi. Ruang kerja baru yang dapat dilakukan secara fleksibel, apakah dari rumah atau di mana saja seorang pegawai berada, tak mungkin bisa berjalan dengan baik jika tak didukung indikator yang jelas.

Problem birokrasi Indonesia sampai saat ini adalah ketiadaan ukuran indikator kinerja, baik di level organisasi maupun di level individu. Jika era normal baru birokrasi ini diharapkan memperoleh hasil maksimal, pemerintah harus segera melakukan perbaikan proses perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja.

Program pembangunan harus memiliki indikator dan target kinerja yang jelas sehingga kegiatan yang tidak berhubungan dengan capaian kinerja program harus dihapuskan. Jika hal ini bisa dilakukan, selain efisiensi anggaran pembangunan dapat dicapai, target-target pembangunan juga semakin mudah diperoleh, dan struktur organisasi pemerintah (dalam hal ini kementerian/lembaga/organisasi pemerintah daerah) dapat disederhanakan dengan berbasis indikator kinerja. Banyak sekali struktur organisasi pemerintahan yang bisa dipangkas karena tak berhubungan dengan indikator kinerja pemerintahan dan pembangunan.

Merger kementerian dan lembaga dapat segera dilakukan dengan basis kinerja pembangunan yang terbagi (shared outcome and impact). Jika indikator organisasi semakin jelas, indikator kinerja individu dapat dirumuskan dan ditetapkan sebagai basis perjanjian kinerja yang saat ini disebut sebagai sasaran.

Kinerja pegawai (SKP)

Indikator kinerja pegawai yang jelas akan memudahkan seorang ASN bekerja dari rumah atau dari mana saja. Saat ini banyak sekali pegawai ASN yang tak memiliki indikator kinerja yang jelas dalam SKP sehingga bekerja dari rumah tak bisa diukur kinerjanya. Pegawai yang tak memiliki indikator kinerja yang jelas dapat ditawarkan untuk mengambil pensiun dini atau memilih karier kedua di swasta.

Pada sisi lainnya, untuk memperkuat indikator dan target kinerja pembangunan yang lebih baik, dibutuhkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKP) di tingkat nasional sebagai indikator kinerja pembangunan nasional. Hal ini akan menjadi dasar dalam penyusunan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Selama ini banyak capaian pembangunan bersifat fragmented di antara kementerian dan lembaga karena tidak adanya penyelarasan di tingkat nasional, bahkan sebagian juga dapat diukur indikator kinerja hasil dan dampaknya.

Normal baru birokrasi dengan demikian adalah birokrasi yang semakin ramping, semakin cepat, akuntabel, efisien, dan efektif. Wabah Covid-19 adalah momentum untuk memaksa perubahan radikal dan fundamental birokrasi Indonesia menuju birokrasi digital. Semoga.

Sumber: Harian Kompas 13 Juni 2020

Artikel

Reformasi Birokrasi Menciptakan Pelayanan Publik Bersih dan Profesional

  • June 8, 2020June 8, 2020
  • by arwid

oleh: Fahmi Prayoga – Analis Kebijakan Publik

Untuk mewujudkan pembangunan dan pelayanan publik yang prima, reformasi birokrasi sangat penting. Namun, kenyataannya, reformasi birokrasi belum optimal karena kurangnya komitmen pimpinan dan pola pikir yang masih birokratis. Reformasi birokrasi selanjutnya akan berpengaruh terhadap pelayanan publik. Mengapa? Karena muara penyelenggaraan negara adalah pelayanan kepada publik.

Maka sudah sepatutnya masyarakat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan kepada publik. Pelaksanaan reformasi birokrasi di daerah juga disesuaikan dengan kebutuhan serta kesiapan dari setiap daerah. Terdapat beberapa model pengembangan strategi implementasi reformasi birokrasi di daerah. Pertama, Institutional-Documentative Strategy. Mayoritas aspek ini mengenai reformasi birokrasi dalam tataran kelengkapan/pemenuhan dokumen berupa tata tertib dan peraturan.

Kedua, Institutional-Implementative Strategy. Perubahan mengarah pada mengatur internal organisasi. Ketiga, Institutional-Public Implementative Strategy. Aspek-aspek perubahan dilaksanakan berdasarkan pada pelibatan masyarakat secara langsung, kebijakan dirumuskan berdasarkan kebutuhan masyarakat/stakeholder. Pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia saat ini sudah masuk tahap 3 Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional.

Di akhir periode ini, reformasi birokrasi diharapkan menghasilkan sebuah world class bureaucracy yang memiliki ciri tata kelola yang semakin efektif, efisien, serta pelayanan publik yang semakin berkualitas. Saat ini soal penyederhanaan regulasi dengan identifikasi dan perbaikan regulasi masih tumpang tindih. Selain itu, masih adanya birokrasi dengan prosedur panjang dapat dipangkas untuk memudahkan masyarakat.

Saat ini telah disusun peta jalan Reformasi Birokrasi untuk 2020-2024 (Permenpan Nomor 25 Tahun 2020), sebagai alat bantu dalam menjabarkan visi misi presiden serta rencana pembangunan lima tahun. Peta jalan ini menjadi acuan kementerian, lembaga pemerintah, dan daerah sehingga reformasi birokrasi menciptakan pemerintahan bersih, akuntabel, dan kapabel secara terstruktur, dan pada akhirnya akan menciptakan pelayanan publik yang bersih dan profesional.

sumber: Harian Kompas 8 Juni 2020

Artikel

POLICY BRIEF : ANALIS KEBIJAKAN

  • April 28, 2020April 28, 2020
  • by key

Oleh: Mohammad Averrouce

Policy brief adalah, sebut saja usulan ringkas perubahan kebijakan. Ia berisi alasan, bukti-bukti, urgensi, dan rekomendasi yang mendukung pemilihan alternatif kebijakan publik atas satu masalah tertentu. Disebut brief, karena ia harus ringkas, tak lebih dari 1500 (seribu lima ratus) kata dengan jumlah halaman 2 (dua) sampai 4 (empat) halaman dan maksimal 8 (delapan) halaman.

Policy brief termasuk kedalam karya tulis ilmiah yang dapat disusun oleh seorang analis kebijakan. Pedoman penulisan karya tulis ilmiah bagi analis kebijakan diatur dalam Peraturan Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia No. 28 Tahun 2017 termasuk didalamnya policy brief.

Policy brief adalah salah satu alat advokasi bagi pejabat fungsional analis kebijakan . Ini digunakan para untuk meyakinkan pejabat publik untuk menetapkan atau tidak menetapkan kebijakan tertentu. Ia kerap dipakai sebagai alat presentasi, lobi dan negosiasi.

Sebagai alat untuk meyakinkan, isi policy brief mestilah persuasif. Untuk bisa persuasif, argumen dan alasan-alasan perubahan kebijakan harus didukung bukti-bukti akurat dan nyata (evidence). Lazimnya policy brief memang disusun berdasarkan temuan-temuan riset.

Argumentasi dalam policy brief haruslah disusun dalam narasi yang mudah dipahami. Penyusunan rekomendasi haruslah disusun dengan rekomendasi yang dapat digunakan (accessible) oleh target pembaca yaitu pejabat publik.

Rumitnya masalah yang dibahas, dan sempitnya ruang untuk mengeksplorasi detil perubahan kebijakan mengharuskan seorang penulis policy brief mampu mengelaborasi dan mendeskripsikan argumen secara lugas dan tajam. Jangan berpanjang-panjang membahas prosedur riset, karena penentu kebijakan tak tertarik. Fokuslah membahas tindakan realistis apa yang harus mereka lakukan, dan apa alasannya.

Meski demikian, format policy brief tetap harus memikat. Anda bisa menyisipkan cerita, font, grafik dan illustrasi tertentu untuk mendukung argumen Anda.

Apa pentingnya? Kebijakan harus dibuat berdasarkan alasan yang benar, bukti yang kuat, dan argumen yang meyakinkan. Cara pandang seperti inilah yang dalam perbincangan soal pemerintahan kerap disebut sebagai evidence based policy. Kebijakan berdasar bukti. Sudah bukan saatnya kebijakan ditetapkan karena keinginan pribadi pejabat publik, tekanan politik, klenik, atau nyemplung gorong-gorong misalnya.

Evidence yang kuat biasanya ditemukan dalam riset yang baik. Dengan kata lain, kebijakan publik yang baik butuh sokongan riset yang kuat. Untuk itu, tulislah judul policy brief yang menarik sehingga pejabat publik ingin mengetahui lebih lanjut, memunculkan minat baca, dan mewakili substansi dari policy brief tersebut.

Ringkasnya, policy brief dibuat dengan niat memperkuat kualitas kebijakan, mendekatkan dunia penelitian dan kebijakan, dan menjaga keseimbangan antara kepentingan teknokratis, politik, dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik.

Artikel

Birokrasi Tangkas Atasi Covid

  • April 16, 2020April 16, 2020
  • by arwid

Ketika birokrasi di negeri ini baru mulai berbenah menghadapi disrupsi revolusi digital, kini, kita dihadapkan pada tantangan yang mahadahsyat, pandemi Covid-19.

Tantangan yang sama sekali tak terbayangkan. Pandemi ini memorakporandakan tatanan kehidupan dunia sangat cepat dan masif sehingga, tidak heran, banyak negara kelabakan menghadapinya, termasuk negara-negara adidaya.

Indonesia tidak terkecuali. Terbukti, setelah hampir sebulan diberlakukan bekerja dari rumah, pelayanan publik yang seharusnya lebih optimal membantu masyarakat menghadapi pandemi justru malah terganggu.

Berdasarkan laporan yang masuk ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada 17 Maret hingga 9 April 2020, banyak warga yang mengeluhkan terganggunya pelayanan publik. Keluhan paling banyak adalah tidak terlayaninya pelayanan administrasi kependudukan, kelistrikan, perpajakan, perizinan, keimigrasian, serta terkait minyak dan gas. Alih-alih melancarkan penanggulangan Covid-19, berbagai gangguan ini menunjukkan kebalikannya.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dengan mendorong warga bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Untuk membantu perekonomian rakyat kecil akibat kebijakan PSBB, pemerintah meluncurkan bantuan sosial. Hambatan administrasi kependudukan malah kian menyulitkan warga untuk mendapatkan akses, termasuk layanan kesehatan.

Dalam rangka memutus mata rantai penularan Covid-19, pelayanan publik saat ini dilakukan dengan penuh keterbatasan. Ada yang sepenuhnya dilakukan melalui sistem daring; ada yang dilakukan seperti biasanya, tetapi dengan prosedur ketat jaga jarak; ada juga yang mengombinasikannya. Namun, itu semua agar bisa berjalan optimal membutuhkan sejumlah prasyarat dan persiapan.

Penyiapan infrastruktur teknologi, struktur kerja yang baru yang tangkas, agile (tangkas), serta yang terpenting perubahan kultur yang memperhatikan kebutuhan konsumen menjadi keharusan.

Global Connectivity Index 2019, yang mengukur indikator transformasi digital sejumlah negara, misalnya, masih menempatkan Indonesia di urutan ke-62 dari 76 negara. Urutan teratas adalah Amerika Serikat (1), Singapura (4), Jepang (6), Korea Selatan (13), China (26), dan Malaysia (30).

Sejumlah daerah boleh jadi sudah lebih siap. Sebut saja DKI Jakarta, Kota Surabaya, atau Kabupaten Banyuwangi yang gencar melakukan transformasi. Namun, masih banyak daerah di negeri ini yang masih jauh dari siap.

Kini, segenap jajaran birokrasi, dari atas hingga bawah, tidak bisa lagi menunggu. Teladan dan pengawasan kerja yang terukur dari semua kepala daerah maupun pimpinan instansi dan lembaga perlu dilakukan untuk memastikan pelayanan publik berjalan optimal di tengah pandemi. Saatnya, aparatur sipil negara berada di garis depan, membuktikan komitmennya pada pelayanan publik.

Sumber: Harian Kompas, 16 April 2020

Artikel

Agen Perubahan Reformasi Birokrasi, Ujung Tombak Menuju Revolusi Mental

  • March 26, 2020March 26, 2020
  • by key

Oleh: Syeh Saifuddin


“mari membiasakan yang benar dan tidak membenarkan yang biasa”

Menurut kamus bisnis, definisi agen perubahan (agent of change) adalah individu atau kelompok individu yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan atau mempercepat perubahan sosial, budaya, atau perilaku. Definisi ini memang bukan satu-satunya definisi tentang agen perubahan, banyak perbedaan dalam memutuskan definisi ini. Para guru disekolah, dokter umum, para konsultan, agen perluasan tanah pertanian, pekerja pengembangan, dan sales dan para pejuang. reformasi birokrasi mendefinisikan secara berbeda-beda. Tapi pada prinsipnya, dari kesemua agen perubahan tersebut memberikan suatu hubungan komunikasi yang mirip yaitu salah satu peran utama dari agen perubahan adalah memfasilitasi aliran/arus inovasi dari agen perubahan sampai kepada target pendengar/audiens atau secara lebih luas disebut public.

Dalam konteks reformasi birokrasi, tantangan agen perubahan jauh lebih besar dari sector lainnya terutama di Indoensia, mengingat bahwa selama puluhan tahun birokrasi yang “membenarkan yang bisa” sudah mendarah daging dalam setiap level lembaga pemerintah, sehingga merubah slogan tersebut menjadi “membiasakan yang benar” akan mendapat tantangan yang sangat serius dari semua komponen.

Definisi Agen perubahan dalam Permenpanrb No. 27 Thn 2014 tentang Pedoman Pembangunan Agen Perubahan di Instansi Pemerintah, dinyatakan bahwa Agen Perubahan adalah individu/kelompok terpilih yang  dijadikan contoh dan panutan baik dalam integritas maupun kinerjanya yang tinggi. Agen Perubahan RB berperan sebagai role model. Sedangkan yang dimaksud dengan Individu adalah pimpinan instansi pemerintah dan/atau pegawai. Sementara definisi Kelompok yaitu kumpulan dari pegawai-pegawai dalam suatu instansi pemerintah yang memiliki tujuan yang sama, serta Forum Agen Perubahan adalah  pertemuan para Agen Perubahan sebagai sarana komunikasi bagi Agen Perubahan dalam pertukaran pengetahuan dan pengalaman untuk mempercepat dan memperkuat terjadinya perubahan pada organisasi tersebut.

Reformasi birokrasi pada hakekatnya adala hperubahan besar dalam paradigma dan tata kelol apemerintahan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif; berintegritas, bersih dari perilaku korupsi kolusi dan nepotisme, mampu melayani publik secara akuntabel, serta memegang teguh nilai-nilai dasar organisasi dan kode etik perilaku aparatur negara.

Korelasi dengan revolusi mental

Istilah revelosi mental mulai menggema, setalah digaungkan oleh Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh, Joko Widodo. Menurut Jokowi, terminologi “revolusi” tidak selalu berarti perang melawan penjajah, kata revolusi merupakan refleksi tajam bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong, karakter tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera. Perubahan karakter bangsa tersebut, kata Jokowi, merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa.

“Kalau ada kerusakan di nilai kedisiplinan, ya mesti ada serangan nilai-nilai ke arah itu. Bisa mengubah pola pikir,mindset.Titik itulah yang kita serang,” ujar Jokowi. Untuk melakukan serangan itu dibutuhkan para prajurit handal yang dalam hal ini disebut sebagai agen perubahan. Fungsinya untuk mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keasliannya, orisinalitas, mempunyai identitas sebagai suatu bangsa yang melayani rakyatnya.

Proses mengelola perubahan

Ada delapan area penting manajemen pemerintahan yang perlu dilakukan perubahan  secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan. Salah satunya adalah perubahan mindset (pola pikir) dan culture set (budaya kerja) birokrasi, dimana perubahan ini ditujukan untuk mewujudkan peningkatan  integritas dan kinerja birokrasi yang tinggi. Makna  integritas adalah  individu anggota organisasi yang mengutamakan perilaku terpuji, tidak koruptif, disiplin dan penuh pengabdian  sehingga dapat mendorong terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek korupsi,kolusi, dan nepotisme. Sedangkan makna kinerja tinggi  adalah  individu anggota organisasi  yang memiliki etos kerja yang tinggi, bekerja secara profesional dan mampu mencapai target-target kinerja yang ditetapkan sehingga mampu  mendorong terwujudnya pencapaian target-target kinerja organisasi yang telah ditetapkan.

Salah satu faktor penting dalam hal perubahan pola pikir dan budaya kerja dilingkungan suatu organisasi adalah adanya keteladanan  yang nyata dari pimpinan dan individu anggota organisasi. Pimpinan organisasi mempunyai lingkar pengaruh yang luas, sehingga perilaku pimpinan akan menjadi contoh bagi para bawahan untuk bertindak dan berperilaku. Perilaku pimpinan yang baik, sesuai dengan nilai-nilai yang dianut organisasi akan memudahkan usaha untuk mengubah perilaku bawahannya.

Selain unsur pimpinan, maka untuk mempercepat perubahan kepada seluruh individu anggota organisasi, sangat diperlukan beberapa individu untuk menjadi unsur   penggerak utama perubahan yang  sekaligus dapat menjadi contoh dalam berperilaku bagi seluruh individu anggota organisasi yang ada  di lingkungan organisasinya.Komitmen pimpinan harus diikuti oleh beberapa stafnya  terutama  yang mempunyai kedudukan strategis, komitmen ini harus diwujudkan dalam ucapan dan   tindakan sehari-hari, serta dituangkan dalam kebijakan formal.


Harus disadari bahwa perubahan tidak bisa terjadi dalam waktu yang singkat, oleh karenanya fokus perubahan harus diarahkan mulai pada hal-hal yang sangat mungkin dilakukan dan dilakukan secara bertahap.Perlu ada unit kerja/pokja yang ditugasi untuk menangani manajemen perubahan dan semua actor yang terlibat dapat membangun strategi komunikasi yang efektif dalam mengajak orang lain untuk melakukan perubahan.Perlu diantisipasi adanya saat/kondisi yang menyebabkan timbulnya rasa lelah/bosan, dan putus asa dalam menangani manajemen perubahan, karena perkembangan lingkungan strategis sangat mempengaruhi keberhasilan suatu perubahan (misal : kebijakan pemerintah, pergantian pejabat, dsb), sehingga dukungan teknis dan administratif pihak eksternal (mitra pembangunan) akan mengakselerasi terjadinya perubahan. Proses akhir yang juga tidak kalah penting adalah monitoring dan evaluasi berkala sangat diperlukan, terlebih mengingat bahwa keberhasilan suatu perubahan sulit diukur secara kuantitatif.

Menurut Permenpanrb No. 27 Thn 2014 tentang Pedoman Pembangunan Agen Perubahan di Instansi Pemerintah Kriteria Agen Perubahan adalah : berstatus sebagai ASN/TNI/Polri;Tidak sedang menjalani hukuman disiplin pegawai;Bertanggungjawab atas setiap tugas yang diberikan sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya;Taat  aturan disiplin dan kode etik pegawai serta konsisten terhadap penegakan aturan disiplin dan kode etik; mampu memberikan pengaruh positif bagi lingkungan organisasinya;Inovatif dan proaktif terkait dengan pelaksanaan tugas fungsi dan upaya peningkatan kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi.

Apakah anda memenuhi kretiria tersebut? jika iya, kenapa anda tidak bertekad dari diri sendiri untuk menjadi agen perubahan dalam diri anda, keluarga anda, organisasi anda untuk perubahan Indonesia yang lebih baik.

Artikel

RENUNGAN PERUBAHAN : PROFESIONALISME SUNGGUHAN (THE REAL PROFESIONALISM)

  • March 26, 2020March 26, 2020
  • by key

Oleh: Mohammad Averrouce

Aparatur negara sebagai abdi masyarakat dan entitas dari birokrasi dalam setiap peran dan tugasnya harus mampu memberi solusi dan kontribusi dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat guna menyelesaikan berbagai permasalahan di dalam masyarakat. Solusi perbaikan pelayanan tidak dapat dilakukan dengan tampilan kekuatan otoritas dan kewenangan (show a force of  authority) yang berlebihan. Aparatur negara sebagai sebuah  kekuatan yang terkendali dan terukur serta bebas dari kepentingan diharapkan menampilkan kinerjanya sebagai the power of professionalism dalam pelayanan kepada publik dan masyarakat. Inilah esensi pokok keberadaan aparatur negara dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peningkatan kinerja sebagai wujud profesionalisme memiliki posisi yang sangat strategis terhadap keberhasilan tujuan bernegara dan pembangunan nasional, tidak ada pelaksanaan perubahan yang tidak melibatkan birokrasi sesuai peran dan tugasnya dari pusat sampai pelosok negeri, dari ujung negeri Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Pulau Rote.

Profesionalisme

Profesionalisme tidak sekedar berkeahlian (expert) dan berpengalaman (experience) tetapi juga beretika moral. Maka profesionalisme merupakan salah satu bentuk budaya peradaban yang akan terus berjalan dan berganti. Dalam pelayanan masyarakat, profesionalisme bertolak dari aspek legalitas, semua didasarkan pada aturan dan hukum yang telah ditetapkan dan dijalankan dalam melaksanakan pekerjaan dan tugas yang dibebankan. Tetapi disamping legalitas, juga harus sejajar dengan legitimasi yaitu pengakuan publik melalui publik trust and public appreciation. Keberhasilan dalam kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat, harus diukur dengan objektifitas ilmiah dari akademisi-akademis non partisan dan independen sebagai dasar legitimasi yang diberikan oleh publik baik pada tingkat lokal, regional maupun internasional.

Profesionalisme yang hanya bersandarkan pada aspek legalitas saja belum lengkap karena belum dapat memenuhi rasa keadilan yang sama rata dirasakan dalam setiap pelayanan yang dilakukan. Tetapi profesionalisme yang hanya menekankan pada aspek legitimasi, juga tidak dapat memberikan jaminan obyektifitas yang permanen, bahkan dapat menimbulkan permasalahan di belakang hari ketika pengakuan publik sudah berubah. Maka gabungan antara legalitas dan legitimasi akan memberikan jaminan yang permanen berdasarkan kebenaran dari obyektifitas yang teruji.

Profesionalisme Interpersonal dan Intra Personal

Profesionalisme pelayanan dibentuk melalui proses profesionalisasi dengan membangun spesialisasi keahlian dan bergerak dalam lingkungan pekerjaan yang spesifik dan khusus. Profesionalisasi membentuk suatu “domain” yang berbeda dengan domain-domain yang lain. Profesionalisasi dengan domainisasi berguna untuk mencegah duplikasi-duplikasi dalam sistem kehidupan masyarakat termasuk dalam sistem administrasi pemerintahan (public administration system). Duplikasi-duplikasi tersebut bukan hanya mencegah ketidakjelasan pertanggungjawaban publik, tetapi bahkan mencegah timbulnya pengelolaan pemerintahan tanpa sistem manajemen yang jelas.

Di samping domainisasi, profesionalisme perlu pembudayaan atau institusionalisasi. Dalam proses ini aspek-aspek sub budaya yang tidak relevan perlu dikikis atau diredusir. Sub budaya yang pertama adalah primordialisme sebagai gejala serpihan-serpihan sosial yang berpotensi terjadinya diskriminasi dalam pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu perlu ada proses De-primordialisasi. Sub budaya kedua adalah feodalisme, yaitu suatu pelapisan sosial secara vertikal berdasarkan kriteria emosional yang berpotensi terjadinya ketidak setaraan dimuka pelayanan yang diberikan. Maka perlu ada proses De-feodalisasi. Sub budaya berikutnya adalah sakralisme suatu kecenderungan mengagungkan simbol-simbol dan figur-figur yang di kultuskan dimana kecenderungan ini dapat berpotensi berkembangnya sikap apriori dalam memberikan prioritas dalam pelayanan. Oleh karena itu perlu adanya langkah-langkah De-sakralisasi. Dengan demikian proses institusionalisasi profesionalisme setidak-tidaknya dengan menempuh proses De-primordialisasi, De-feodalisasi dan De-sakralisasi.

Profesionalisme Pelayanan hendaknya dibangun dalam sistem administrasi pelayanan yang independen`(mandiri), maksudnya pelayanan yang profesional selalu dijaga untuk tidak disalahgunakan dalam perebutan kekuasaan politik. Maka perlu dilakukan De-politisasi. Begitu juga agar dijaga untuk tidak disalahgunakan dalam memperoleh keuntungan ekonomis. Maka perlu dilakukan suatu langkah De-korporatisasi. Profesionalisme pelayanan yang ideal harus terhindar dari proses prosedur yang berbelit-belit, memakan waktu yang lama dan mengeluarkan biaya yang besar. Profesionalisme pelayanan yang ideal adalah proses yang sederhana, cepat dan murah. Untuk itu perlu ditempuh langkah De-birokratisasi. Maka dalam membangun indenpendensi ini perlu ditempuh De-politisasi, De-korporatisasi dan De-birokratisasi.

Profesionalisme pelayanan memang merupakan keinginan dari sistem nasional, akan tetapi masyarakat Indonesia yang ber-bhineka tunggal ika memiliki rasa keadilan yang bersifat lokal. Maka perlu De-sentralisasi dalam arti profesionalisme pelayanan dilakukan dengan menghormati rasa keadilan lokal yang ada.

Proses-proses profesionalisasi yang bersifat interpersonal sebagaimana disebutkan tadi, masih perlu dilengkapi dengan proses yang bersifat “intrapersonal”. Proses intrapersonal tadi berlangsung dalam batin masing-masing apatur pelayanan yang berisikan dua substansi yaitu komitmen dan loyalitas

Komitmen sebagai keteguhan hati dalam mencapai tujuan dan cita-cita yang disepakati bersama. Komitmen akan menggerakan perubahan kolektif kearah tujuan bersama. Komitmen bersama merupakan sinergi dari semua komponen didalamnya dan merupakan kekuatan besar dan produktif.

Loyalitas diperlukan untuk memberikan ikatan antara individu dengan institusi/lembaga. Profesionalisme pelayanan pada titik terdepan memang menjadi tanggung jawab individual pelaku, tetapi ia harus tetap menjadi bagian dari satu keseluruhan. Loyalitas adalah kesediaan individual untuk tunduk dalam ikatan institusi/lembaga.

Kepercayaan Publik

Akhirnya wujud profesionalisme sungguhan (real profesionalism) diserahkan kepada penilaian masyarakat. Kepercayaan publik akan terbangun karena bukti-bukti nyata dari kontribusi yang telah diberikan kepada masyarakat. Akan tetapi parameter akan selalu bergeser sesuai dengan perubahan paradigma. Paradigma tersebut tidak menentukan tentang salah atau benar, tetapi hanya menentukan tentang relevan atau tidak relevan. Kesanggupan mengikuti perubahan akan menentukan tingkat kepercayaan publik. Akhirnya real profesionalism mungkin saja dapat digambarkan dalam rangkaian kata-kata yang simpel dan mudah dicerna : Profesionalisme adalah tidak menggunakan fasilitas birokrasi untuk pentingnya pribadi dan golongan/kelompok/suku/family, dsb; profesionalisme adalah punya usaha apapun, konsultan, mengajar, dsb tapi tidak conflict of interest di kantornya; profesionalisme adalah…………

“Mari Berubah”

Artikel

Debirokratisasi Era Jokowi

  • December 30, 2019December 30, 2019
  • by arwid

Oleh: Nina Susilo

Mewujudkan birokrasi yang baik, profesional, dengan mind set dan culture set yang mencerminkan integritas dan kinerja tidak cukup mengandalkan perampingan semata. Penyederhanaan birokrasi menjadi program keempat yang akan dilakukan pemerintahan Joko Widodo, Eselon III dan IV dipangkas, dialihkan menjadi jabatan fungsional.

Harapannya, pemangkasan itu membuat prosedur menjadi pendek, birokrasi jadi lincah, dan investasi masuk dengan cepat. Investasi akan menciptakan lapangan kerja.

Tjahjo menjelaskan bagaimana selama ini sebuah instruksi dilaksanakan. Tugas dari menteri diberikan kepada direktur jenderal/deputi yang merupakan eselon I, lalu diturunkan ke direktur pejabat eselon II, kemudian diberikan ke pejabat eselon III yang setelahnya dilanjutkan ke pejabat eselon IV. Dari pejabat eselon IV, barulah tugas dikerjakan pegawai fungsional. Ketika akan diserahkan kembali hasilnya, prosesnya bertingkah serupa kembali terjadi.

Betapa panjang rantai kerja birokrasi. Proses perizinan juga melalui proses hierarki ini. Durasi pengerjaan bertambah panjang ketika salah seorang pejabat sedang absen atau tidak ada di kantor. Hal ini, menurut Tjahjo, membuat Presiden Jokowi jengkel dan meminta dilakukan debirokratisasi.

Kementerian PANRB pun mencoba menerapkannya. Sebanyak 159 jabatan struktural eselon III dan IV dialihkan menjadi jabatan fungsional. Tinggal tiga jabatan yang disisakan, yakni Kepala Bagian Tata Usaha dan Layanan Pengadaan, Kepala Subbagian Rumah Tangga, dan Kepala Subbagian Protokol.

Kementerian/Lembaga lain pun mulai mengidentifikasi jabatan-jabatan struktural yang bisa dialihkan ke jabatan fungsional. Namun, beberapa jabatan eselon III dan IV tak perlu dihapus. Surat Edaran Menpan RB No 384/2019 tentang Langkah Strategis dan Konkret Penyederhanaan Birokrasi menyebutkan perkecualian pada pejabat yang bertugas sebagai kepala satuan kerja dengan kewenangan penggunaan anggaran atau pengadaan barang/jasa; memliki tugas dan fungsi terkait otoritas, legalisasi, pengesahan, persetujuan dokumen, atau kewenangan kewilayahan; atau kriteria khusus lain berdasarkan usulan tiap kementerian/lembaga. Jadi, jabatan seperti camat dan lurah tak serta merta dihilangkan.

Tjahto pun optimis, pertengahan 2020, debirokratisasi selesai di tingkat kementerian/lembaga. Namun, untuk jajaran pemerintahan daerah, ia tak berani memastikan.

Hal lain yang perlu diperhatikan, keberhasilan debirokratisasi sangat dipengaruhi oleh peran pejabat pembina kepegawaian (PPK). Yang dimaksud PPK adalah menteri/kepala lembaga dan kepala daerah. Hanya saja, kebijakan ini berpotensi dijadikan senjata oleh kepala daerah untuk menyingkirkan para pejabat yang dinilai tak mendukungnya dalam pemilihan kepala daerah dan memberikan ‘hadiah’ kepada pejabat yang berkontribusi dalam pilkada. Hal serupa juga bisa dibaca publik dalam pemilihan para pejabat di sekeliling Presiden. Oleh karena itu, indikator yang obyektif mesti disiapkan dalam pemangkasan birokrasi.

Komprehensif

Selain itu, debirokratisasi memerlukan langkah yang komprehensif. Pengajar School of Policy the University of Southern California, Gerald E Caiden, dalam artikelnya, Administrative Reform, di Handbook of Comparative and Development Public Administration (2001) menyebutkan, debirokratisasi juga mencakup perbaikan cara pengambilan keputusan dan kebijakan; dekonsentrasi kekuasaan dan otoritas; penyembuhan penyakit birokrasi seperti kecurangan, buang-buang anggaran, dan korupsi; adopsi teknologi yang mumpuni; menyederhanakan proses administrasi; mengurangi utang publik; memperbaiki simulasi dan prediksi; mendidik pengelola publik dalam mengelola pemerintahan; menekankan etika dan norma publik; serta deregulasi.

Tanpa langkah komprehensif di atas, kendati mengurangi kegiatan yang tidak produktif dan melaksanakan reorganisasi bisa meningkatkan kinerja, hal itu tetap tidak bisa mengatasi penggunaan anggaran berlebihan. Apalagi, di Asia, resistensi birokrasi dan masalah korupsi disebutkan bisa dengan mudah menggagalkan upaya reformasi yang dilakukan.

Untuk itu, Caiden menegaskan, keberhasilan reformasi birokrasi sangat bergantung pada praktik keseharian pemerintahan dan ratusan ribu pegawai yang menangani urusan publik. Karena, itu diperlukan sistem yang tertata dan para pemimpin yang mampu mengarahkan dan memastikan reformasi birokrasi terus berjalan. Mewujudkan birokrasi yang baik, profesional, dengan mind set dan culture set yang mencerminkan integritas dan kinerja tinggi tidak cukup mengandalkan perampingan semata.

Sumber: Harian Kompas 23 Desember 2019

Artikel

Reformasi Pencegahan Korupsi

  • December 11, 2019December 11, 2019
  • by arwid

Oleh: Adnan Pandu Praja

Melemahnya fungsi penindakan KPK seyogianya diimbangi dengan penguatan pencegahan korupsi melalui pemberdayaan audit internal, khususnya penerapan manajemen risiko. Hal ini sejalan dengan prioritas Presiden Jokowi dalam memperbaiki manajemen APBN.

Bercermin dari reformasi di Amerika pasca-skandal Watergate (1972) yang mengakibatkan mundurnya presiden Nixon sebelum dilengserkan, yang pertama dilakukan dalam mencegah korupsi adalah mereformasi inspektorat jenderal dengan membentuk Office of Inspectorate General tahun 1976. Setelah itu baru mereformasi penindakan korupsi melalui undang-undang FCPA (Foreign Corrupt Practice Act) pada tahun 1977.

Mengapa perlu mereformasi inspektorat jenderal (irjen), karena hampir seluruh permasalahan keuangan bisa terlacak oleh irjen seperti penggelembungan (mark up) anggaran, rekayasa tender sejak perencanaan dan proyek dadakan yang tidak pernah direncanakan sebelumnya. Kasus dana haji tidak akan terbongkar oleh KPK tanpa peran irjen ketika itu.

Berbagai modus korupsi sesungguhnya dapat dimitigasi sejak awal bila laporan keuangan telah meliputi pula manajemen risiko, sebagaimana telah diterapkan puluhan tahun di Australia Barat di bawah kendali Office of Auditor General.

Kendati Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Instansi Pemerintah (SPIP) sudah mengatur soal mitigasi risiko korupsi, tetapi hal itu belum bisa efektif karena beberapa hal berikut.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terlalu fokus pada urusan mikro yang sesungguhnya cukup diurus oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Di Australia, Inspektorat Jendral (Auditor General) yang berada di bawah kendali Office of Inspectorate General atau Office of Auditor General mengelola urusan mikro seperti audit instansi pemerintah.

Sedangkan BPK Amerika yang disebut Government Accountability Office melakukan audit terhadap program nasional yang bersifat makro, lintas instansi horizontal dan vertikal. Kendati berskala nasional, tetapi cukup dikepalai oleh seorang CEO saja. Sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia.

Laporan hasil audit keuangan instansi pemerintah di Indonesia bersifat post factum dan belum termasuk manajemen risiko seperti di Australia. Setidaknya butuh waktu tiga tahun bagi Auditor General di Australia dalam merencanakan audit keuangan berikut mitigasi risikonya sampai tahap akhir. Dengan demikian nampak jelas peran signifikan pengendalian oleh audit internal di Australia.

Audit internal kurang steril dari campur tangan eksekutif maupun legislatif. Kriteria independensi audit internal di Amerika: tidak bertanggung jawab kepada dan tidak diangkat oleh pimpinan instansinya (Pejabat Pengguna Anggaran/PPA).

Jalan Pintas

Sambil menunggu reformasi struktural reposisi audit internal, berikut Quick Wins sebagai jalan pintas yang segera dapat dilakukan pemerintah dalam rangka mencegah korupsi dan mitigasi operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

Pertama, lelang jabatan inspektorat jenderal. Manfaat lelang jabatan bila dilaksanakan secara transparan oleh panitia yang kredibel adalah: (1) hanya pelamar yang bersih yang akan ikut lelang jabatan, sedangkan yang reputasinya sudah tercemar akan urung melamar karena akan dipermalukan di depan publik, (2) yang lolos seleksi akan menjaga reputasinya selama menjabat sementara atasannya pun enggan melakukan intervensi, (3) manfaat yang paling signifikan akan mengangkat marwah inspektorat jendral bukan lagi sebagai tempat pembuangan staf.

Kedua, manajemen risiko dalam laporan audit. Audit keuangan yang terintegrasi dengan manajemen risiko jauh lebih sistemik dalam mencegah terjadinya salah kelola termasuk risiko korupsi karena bersifat pre-emptive dan tingkat risikonya terukur dari yang kurang berisiko sampai yang paling berisiko yang meliputi sistem, prosedur, kualitas personel, biaya dan jangka waktu.

Aspek yang paling menonjol dari manajemen risiko adalah adanya tiga lapis pertahanan (three line of defence) dengan audit internal di lini terakhir. Prinsipnya, seluruh komponen instansi akan terlibat dalam mitigasi terjadinya risiko.

Menurut Richard F Chamber, presiden Institute of Internal Auditors dalam bukunya Trusted Advisor, menjadi auditor terpercaya tak cukup hanya paham konsep GRC (Governance, Risk Management dan Compliance) tetapi juga harus dapat menjabarkan implementasinya.

Setidaknya ada tiga atribut utama menjadi trusted advisor: atribut personal, atribut komunikasi dan atribut profesional. Atribut personal antara lain standar etik yang tinggi dan open-mindedness. Auditor harus terbuka terhadap perbedaan pendapat dan memiliki cukup empati terhadap kepribadian yang sulit (difficult personality). Atribut komunikasi harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik agar dapat merangsang inisiatif di lingkungan kerja, bukan yang menjatuhkan motivasi seseorang. Atribut profesional, harus memiliki pola pikir kritis agar dapat menemukan akar masalah.

“Peer review”

Peer review adalah instrumen kontrol antar sesama institusi yang lazim berlaku di dunia. Antar institusi KPK di seluruh dunia saling me-review secara berkala namun tak resiprokal dengan mengacu implementasi Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC). Tahun ini KPK bersama Honduras mereview Vietnam, sementara KPK kita di-review Yaman dan Ghana.

Manfaat peer review adalah pertama, akan menyingkap lorong-lorong gelap yang selama bertahun-tahun telah menjadi zona nyaman KKN yang luput dari pantauan internal audit, sehingga akibatnya segera tercipta zona-zona bebas KKN. Kedua, terjadi proses pembelajaran dan pematangan institusi (maturity level) antar sesama audit internal dalam satu area, misalnya peer review antar audit internal di lingkungan pemda di bawah Kementerian Dalam Negeri. Atau peer review di lingkungan BUMN di bawah Menteri BUMN.

Ketiga, audit vendor oleh audit internal yang telah diatur dalam Panduan Praktis Auditing External Business Relationships oleh The Institute of Internal Auditors tahun 2009 dapat diterapkan untuk membongkar zona nyaman KKN dengan vendor selama ini.

Adnan Pandu Praja, Mantan Komisioner KPK dan Komisaris Independen serta Ketua Komite Audit PT MRT Jakarta

Sumber: Harian Kompas, 10 Desember 2019

Artikel

Orkestrasi Reformasi Birokrasi

  • November 30, 2019December 6, 2019
  • by arwid

oleh: Eko Prasojo

Presiden Jokowi telah menyampaikan lima prioritas pembangunan nasional untuk periode pemerintahan 2019- 2024 dalam pidato kenegaraan beberapa waktu lalu. Lima prioritas itu pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM, reformasi birokrasi, mempermudah perizinan untuk investasi dan memperbaiki manajemen APBN yang fokus dan tepat sasaran.

Kelima prioritas ini sangat tepat dan memberikan keseimbangan antara pembangunan infrastruktur, pembangunan manusia dan pembangunan kelembagaan birokrasi. Khusus untuk prioritas reformasi birokrasi (RB), apa yang harus dilakukan oleh pemerintahan?

Tugas utama dari setiap pemerintahan adalah memastikan bahwa kebijakan dan pelayanan publik dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Karena itu, agenda reformasi administrasi publik (atau lebih dikenal reformasi birokrasi), harus menjadi prioritas strategis pemerintah untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat, sekaligus memperkuat daya saing bangsa. Kualitas birokrasi juga akan meningkatkan beberapa indikator pembangunan sosial ekonomi.

Indikator Tata Kelola Pemerintahan Global (Global Governance Index) Indonesia sejak tahun 2006 hingga kini sejatinya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Semua Indikator masih berada di bawah nilai 60. Efektivitas pemerintahan dan kontrol terhadap korupsi mengalami perbaikan, meskipun sangat lambat.

Indeks Daya Saing Global Indonesia, meskipun rankingnya naik tetapi tidak signifkan, tidak stabil dan masih berada di bawah negara-negara ASEAN. Tahun lalu indeks daya saing Indonesia berada di rangking 45, tahun ini turun di ranking 50. Data itu mengindikasikan kualitas birokrasi di Indonesia masih jauh dari kondisi kecukupan dan perlu mendapatkan komitmen serius.

Empat agenda utama

Ada empat agenda besar reformasi birokrasi yang harus dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Pertama, reformasi regulasi (regulatory reform) yang berfokus pada penataan berbagai peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.

Problem dasar peningkatan daya saing Indonesia adalah banyaknya peraturan yang tumpang tindih, disharmoni dan terlalu banyak (over regulated). Setiap sektor memiliki peraturan menteri baik yang dimandatkan oleh undang-undang, peraturan pemerintah maupun yang berupa pelaksanaan tugas pokok menteri, yang menimbulkan kerumitan, birokratisasi, berbelit-belit, kelambanan serta ego sektoral antar-kementerian.

Pada sisi lainnya, secara vertikal banyak sekali peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang dibuat setelah proses desentralisasi tahun 1999. Catatan Kementerian Dalam Negeri saat ini ada sekitar 30.000 perda, dan 25 persen di antaranya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Bagaimana melakukan reformasi regulasi? Rencana pemerintah membentuk Badan Regulasi Nasional perlu didukung. Lembaga ini merupakan penggabungan berbagai lembaga yang saat ini berfungsi dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Deputi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Sekretariat Negara dan Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Lembaga ini harus diberikan wewenang untuk mengharmonisasikan proses penyusunan peraturan perundang-undangan; lalu berdasarkan kajian melakukan revisi dan pembatalan pasal dalam peraturan menteri; serta mengusulkan perubahan peraturan pemerintah. Untuk membuat peraturan yang terintegrasi dalam satu sasaran strategis pembangunan, misalnya peningkatan lapangan kerja dan penguatan daya saing, maka Omnibus Law dapat diberlakukan. Dalam proses review, lembaga ini dapat melibatkan perguruan tinggi, pebisnis, media dan kelompok masyarakat.

Kedua, reformasi struktural (structural reform) yang berkaitan dengan perubahan desain struktur organisasi dan proses bisnis pemerintahan. Desain struktur organisasi birokrasi Indonesia saat ini mengalami dua gangguan besar: (1) tidak berkaitan dengan pencapaian kinerja pemerintahan, (2) sangat hierarkis, gemuk dan sentralistis. Reformasi struktur organisasi setidaknya harus menyelesaikan dua persoalan dasar ini.

Desain struktur organisasi kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah harus berdasarkan indikator dan target kinerja yang dibebankan kepada masing-masing unit. Dengan cara ini banyak unit organisasi yang mungkin tak memiliki peran dalam pencapaian kinerja organisasi dapat segera dibubarkan. Selain tercapainya kinerja, organisasi seperti ini juga bisa mengefisiensikan anggaran yang tak diperlukan.

Ketiga, reformasi budaya (cultural reform) yang berkaitan dengan perubahan nilai dasar, cetak pikir dan perilaku ASN. Belajar dari Korea, Jepang, China dan Singapura, perubahan budaya menjadi fondasi terpenting dalam birokrasi. Perlu dikembangkan nilai dasar utama birokrasi seperti antikorupsi, tanggung jawab dan kerja sama. Nilai ini tentu saja harus diinternalisasikan mulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam sistem birokrasi formal, nilai ini sudah harus dimulai dari Diklat Prajabatan.

Setiap pimpinan harus dapat memberikan teladan kepada bawahan, dibentuk agen-agen perubahan dan agen integritas, pelaksanaan kode etik dan kode perilaku, pelaksanaan whistle blower system, serta penegakan sistem reward and punishment. Perubahan budaya memang tidak bisa berlangsung cepat dan sekali jadi, tetapi pemerintah dan seluruh ASN harus sudah memulainya.

Keempat, transformasi digital (digital transformation) yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi (IT), komunikasi dan teknologi robotik (artificial intelligent). Integrasi berbagai reformasi birokrasi akan diikat dengan kemajuan IT, komunikasi dan pemakaian intelijensia buatan. Teknologi akan mengintegrasikan secara vertikal dan horizontal hubungan struktural dan fungsional serta memangkas proses bisnis secara horizontal. Teknologi juga akan memaksa perubahan interaksi perilaku interaksi antar-unit dan antar orang di organisasi pemerintah, maupun antara pemerintah dengan masyarakat.

Untuk keperluan transformasi digital, Presiden Jokowi harus menetapkan beberapa program prioritas. Mengantisipasi perubahan generasi Y dan Z yang lebih senang bekerja di rumah dan berbasis output, pemerintah sudah harus menyediakan fasilitas dan infrastruktur kerja jarak jauh, waktu kerja yang fleksibel, dan ukuran kinerja yang lebih jelas kepada setiap pegawai. Dalam 5-10 tahun yang akan datang, para pegawai ASN akan lebih banyak bekerja di rumah, rapat-rapat dilakukan dengan video conference, dan para pegawai pelaksana pelayanan publik akan digantikan dengan robot (robotic agents).

Kepemimpinan perubahan

Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi diperlukan kepemimpinan dan komitmen kolektif. Wakil Presiden sebagai Ketua Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) memimpin dan memutuskan kebijakan strategis dan program RB seperti deregulasi, debirokratisasi, transformasi budaya dan transformasi digital. Menteri PANRB mengkoordinasikan dan melaksanakan program RB di kementerian dan lembaga.

Setiap menteri harus memahami esensi dan substansi RB, memerintahkan dan mengawal secara langsung berbagai program perubahan. Menteri Dalam Negeri bekerja sama dengan MenPANRB mengkoordinasikan pelaksanaan RB di provinsi dan kabupaten/kota. Setiap gubernur/bupati dan walikota harus memahami dan memimpin secara langsung berbagai perubahan fundamental.

Berbagai kemajuan dan hambatan dalam pelaksanaan program RB harus dibahas bersama dengan wapres secara periodik dan segera mendapatkan keputusan untuk ditindaklanjuti oleh para menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati dan walikota. Sekretariat Wapres untuk KPRBN harus mengawal berbagai pelaksanaan keputusan yang sudah disepakati serta melaporkan kemajuannya dalam sidang berikutnya.

Selain itu, indikator capaian program RB juga harus dapat diukur dalam kurun waktu tertentu, misalnya tingkat efisiensi anggaran dan efektivitas pemerintahan, kemudahan izin memulai usaha, kontrol terhadap korupsi, tingkat daya saing, serta kualitas pelayanan publik. Berbagai indikator ini harus terus-menerus diukur dan dievaluasi serta dicarikan berbagai solusinya secara cepat.

Berbagai perubahan itu harus dilakukan secara komprehensif dan bersungguh-sungguh dengan desain yang jelas serta batas waktu yang terukur. Pemerintah harus melakukan sekarang, karena jika tidak dimulai pada periode ini, maka tidak akan selesai pada periode berikutnya. Semoga.

(Eko Prasojo, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UI)

Sumber: Harian Kompas 28 November 2019

Posts navigation

1 2 3

Kalendar

August 2022
M T W T F S S
« Jul    
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  

Tentang Kami

Tim RBI Kementerian PANRB dibentuk melalui Surat Keputusan Menteri No. 14 Tahun 2018 dengan Ketua Pelaksana Sekretaris Kementerian PANRB.

Kontak Kami

021 – 7398382 ext:2095
set_rbi@menpan.go.id

Sekretariat RBI Kementerian PANRB
Jl. Jendral Sudirman Kav. 69 Lantai 6 Jakarta 12190

Media Sosial Kementerian PANRB

Kenal lebih dekat !

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube
Reform Kita - 2019
Theme by Colorlib Powered by WordPress