Desain Besar Kementerian Negara

Dipublikasikan pada:
29 July, 2024
Bagikan artikel:
kelembagaan
Desain Besar Kementerian Negara

Oleh: Eko Prasojo
Sekretaris Eksekutif Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) dan Guru Besar Administrasi Negara UI

Beberapa waktu lalu, Badan Legislatif DPR menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pro-kontra tak bisa dihindarkan, baik dari perspektif politik, hukum, maupun pemerintahan.

Semua hal di atas berkaitan dengan pembentukan kabinet pada Oktober nanti, saat presiden terpilih Prabowo Subianto dilantik.

Bagaimana kita harus membaca diskursus terkait revisi UU Kementerian Negara (selanjutnya disebut UU Kementerian) dalam perspektif membangun kabinet presidensial yang efektif dan profesional tersebut?

Kekuasaan konstitusional presiden

Perdebatan dalam proses pembentukan UU No 39/2008 tentang Kementerian berasas pada pertanyaan apakah presiden, sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, diberikan kekuasaan mutlak untuk membentuk, menggabungkan, dan menghapuskan kementerian. Dalam hal ini, termasuk menentukan jumlah kementerian. Atau, sebaliknya, kekuasaan presiden itu dapat dibatasi oleh UU.

Suasana kebatinan dalam menyusun naskah akademik dan draf RUU Kementerian Negara di masa itu diselimuti oleh kekhawatiran para pembentuk UU di DPR. Alasannya, era Reformasi dan masa depan Indonesia belum memberikan jaminan kondisi perpolitikan yang lebih kondusif untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan demokratis dalam rangka mendorong dan melahirkan pemimpin politik yang membuat keputusan dan tindakannya secara rasional, efektif, dan bertanggung jawab.

Di sisi lain, pemerintahan Indonesia berdasar UUD NRI 1945 hasil amendemen tetap mempertahankan sistem presidensial, dengan presiden—berdasarkan Pasal 4 Ayat (1)—memegang kekuasaan pemerintahan. Dalam kedudukannya itu, presiden masih memiliki kekuasaan yang kuat menurut UUD NRI 1945.

Meski demikian, sebagaimana diatur di Pasal 17 Ayat (4) hasil amendemen ketiga, kekuasaan presiden untuk membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian negara diatur dalam UU.

Dalam naskah akademik RUU Kementerian Negara saat itu disebutkan bahwa pengaturan mengenai pembentukan, pengubahan, dan penghapusan kementerian negara dalam UU menyiratkan kekhawatiran kekuasaan presiden yang sangat besar sehingga diperlukan mekanisme checks and balances.

Meskipun demikian, hak prerogatif presiden dalam menetapkan kementerian dan mengangkat menteri negara tetap dapat dilaksanakan dalam suasana yang demokratis, efektif, dan efisien.

Dengan demikian, latar belakang dibentuknya UU Kementerian Negara adalah upaya untuk memperkuat sistem demokrasi dalam kerangka sistem pemerintahan presidensial. Hal ini didasarkan pada keinginan konstitusi dan pembentuk UU untuk memberikan rambu-rambu kepada presiden untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan dalam membentuk kementerian dan mengangkat para pembantunya.

Perdebatan memuncak terutama berkaitan dengan jumlah kementerian yang dapat dibentuk oleh presiden.

Pada Pasal 15 UU No 39/2008 disebutkan bahwa jumlah keseluruhan kementerian yang dapat dibentuk oleh presiden paling banyak 34 kementerian. Pasal ini dipandang membatasi kekuasaan pemerintahan yang dimiliki oleh presiden.

Sejumlah pihak menghendaki revisi UU Kementerian Negara untuk menghapus Pasal 15 ini. Alasannya, Indonesia negara besar dengan kompleksitas masalah yang semakin banyak untuk ditangani, apalagi dengan perubahan lingkungan strategis yang terjadi saat ini.

Arah transformasi ke depan

RUU revisi UU No 39/2008 sepenuhnya menjadi kewenangan DPR dan presiden untuk menetapkannya.

Sebagai dasar pertimbangan, beberapa pemikiran berikut mungkin bermanfaat. Pertama, berdasarkan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, saat ini Indonesia menganut sistem pemerintahan terdesentralisasi. Sebagian besar urusan pemerintahan telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota, sebagian kecil diserahkan kepada pemerintah provinsi.

Selain dalam urusan yang menjadi kewenangan absolut pemerintah pusat, seperti urusan luar negeri, moneter, keamanan, pertahanan, peradilan, dan agama, maka urusan-urusan lain, yang berkaitan dengan kewenangan mengatur dan mengurusnya, telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Karena itu, urusan pemerintah pusat terbatas pada kewenangan yang sifatnya mengatur, yaitu membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK).

Namun, memang dalam praktiknya saat ini terjadi kesulitan koordinasi dan fragmentasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini menyebabkan banyak sekali rencana strategis, program, dan kegiatan pemerintah pusat tak dapat dilaksanakan secara baik di pemerintahan daerah karena tidak tersambungnya perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan program dalam APBN dengan program dalam APBD.

Sebut, misalnya, kesulitan untuk melaksanakan program mengatasi kemiskinan, tengkes, dan indeks modal manusia kita saat ini. Di samping itu, kelembagaan dan governansi kementerian/lembaga (K/L) juga tak memiliki sambungan yang baik dengan organisasi perangkat daerah (OPD).

Dengan kata lain, desain kementerian negara saat ini memiliki inkompatibilitas dengan sistem pemerintahan Indonesia yang terdesentralisasi. Jika masalah ini tidak diantisipasi, opsi menambah jumlah kementerian akan semakin menambah rumit hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Beberapa usulan

Penulis mengusulkan agar revisi UU Kementerian Negara menganut pemisahan antara policy making agency dengan policy implementing agency, sebagaimana banyak dianut di beberapa negara. Dalam hal ini, yang harus diperkuat dan diperbanyak bukanlah kementerian sebagai policy making agency, melainkan lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) sebagai policy implementing agency. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), misalnya, mungkin bisa diperkuat fungsinya sebagai Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Demikian pula, Kementerian Investasi diperkuat fungsinya sebagai Badan Penanaman Modal/Investasi. Gagasan lain, membangun Badan Penerimaan Negara, dengan melepaskan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dari Kementerian Keuangan.

Masalah kedua dalam pemerintahan yang ada saat ini, sulitnya kolaborasi antarkementerian dalam pelaksanaan program pembangunan.

Ego sektoral dan mentalitas silo masih sangat tinggi dalam perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan program pembangunan. Setiap kementerian berpikir dan bertindak dalam kacamata urusan masing-masing. Padahal, program-program pembangunan pada dasarnya membutuhkan joint up government atau whole up government, yaitu terintegrasinya indikator kinerja antarkementerian untuk mencapai sasaran strategis pembangunan nasional.

Ego sektoral dan fragmentasi pembangunan disebabkan oleh dua hal. Pertama, struktur organisasi kementerian yang tidak berbasis kinerja, melainkan berbasis fungsi dan tugas. Kedua, proses perencanaan dan penganggaran yang sifatnya trilateral meeting, bukan multilateral meeting.

Sebagai contoh, program penanggulangan kemiskinan saat ini yang dikoordinasikan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan melibatkan 28 K/L, tetapi perencanaan dan penganggaran program/kegiatannya tak dilakukan secara kolaboratif lintas kementerian/lembaga.

Karena itu, perlu diantisipasi pembentukan kementerian yang memungkinkan kolaborasi antarkementerian dalam program pembangunan. Semakin banyak kementerian, semakin rumit koordinasi dan kolaborasi yang harus dilakukan. Jalan keluarnya adalah mendesain kementerian sesuai Indikator Kinerja Utama (IKU) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang akan ditetapkan, bukan berdasarkan fungsi/urusan pemerintahan yang sifatnya sektoral.

Hal ketiga adalah berkembangnya berbagai teknologi maju, seperti teknologi digital, big data, artificial intelligence, dan robotik yang memungkinkan sistem kerja lebih mudah, terintegrasi, cepat, dan akurat.

Pemanfaatan berbagai teknologi tersebut akan menyebabkan rasionalisasi struktur dan proses bisnis di dalam kementerian ataupun antarkementerian. Sebagai akibatnya, organisasi kementerian akan semakin sederhana dan jumlah SDM akan banyak berkurang.

Kantor-kantor fisik pemerintahan akan digantikan dengan ruang kerja digital, proses pengambilan keputusan dan kebijakan akan semakin cepat dan akurat, dan koordinasi antarkementerian akan semakin mudah.

Opsi yang bisa disarankan adalah membangun kementerian dengan desain platform governance, yaitu pemerintahan berbasis digital dengan struktur organisasi menjadi flat, proses bisnis yang lincah dan terintegrasi, serta SDM dan sumber daya keuangan yang berbagi-pakai antar-K/L. Dengan platform governance, jumlah kementerian bisa saja dipertahankan seperti saat ini, dalam fungsinya sebagai policy making agency.

Akan tetapi, struktur internal organisasi kementerian akan semakin datar dan terintegrasi dengan kementerian dan lembaga lainnya. Dengan demikian, hal ini akan memperkuat kolaborasi lintas kementerian dan lembaga dalam program pembangunan nasional.

Sumber: Harian Kompas 4 Juni 2024
Sumber gambar: kompas.com


Berita Lainnya

Selengkapnya