Skip to content
Reform Kita
  • Home
  • Profile
    • Tim RBI Kemenpan
    • Rencana Aksi RBI
    • Road Map RBI
    • Makna Logo
    • Nilai dan Kode Etik
  • Modul
    • Manajemen Perubahan
    • Perundang-undangan
    • Organisasi
    • Tata Laksana
    • Manajemen SDM
    • Akuntabilitas
    • Pengawasan
    • Pelayanan Publik
  • Publikasi
    • e-Magazine
    • e-Journal
    • e-Bulletin
    • Laporan RBI
  • Tanya Jawab
  • Login
Artikel

Tantangan Membangun Budaya Organisasi Birokrasi

  • May 19, 2022May 20, 2022
  • by arwid

oleh: Riant Nugroho

Salah satu kritik terpedas kepada birokrasi adalah tidak berbudaya, atau dalam bahasa awam mungkin dapat disebut ”tidak beradab”. Sejak era pascareformasi, upaya membangun budaya birokrasi menjadi upaya yang sangat serius, terutama semenjak salah satu indikator kinerja utama dari keberhasilan reformasi birokrasi adalah menjadi birokrasi dengan budaya organisasi.

Permen PANRB No 39/2012 berjudul Peraturan Menteri PANRB tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja, Peraturan Presiden No 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014, Peraturan Presiden No 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi, dan Permen PANRB No 1/2007 tentang Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Pengembangan Budaya Kerja pada Instansi Pemerintah. Sebelumnya, pada tahun 2002, telah pula ditetapkan Keputusan Menteri PANRB No 25/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. Ternyata, total ada 34 nilai budaya kerja dari aparatur negara.

Pada 27 Juli 2021, Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan core value aparatur sipil negara (ASN), yaitu Ber-AKHLAK. Peluncuran core value ini bertujuan untuk menyeragamkan nilai-nilai dasar bagi seluruh ASN di Indonesia sehingga dapat menjadi fondasi budaya kerja ASN yang profesional. Core value Ber-AKHLAK merupakan singkatan dari Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif.

Penetapan budaya organisasi atau core value AKHLAK ini karena ada perbedaan penerjemahan terhadap nilai-nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku ASN yang tertuang pada UU No 5/2014 tentang ASN. Oleh karena itu, Kementerian PANRB menetapkan core value baru untuk menciptakan persepsi yang sama atas nilai-nilai dasar ASN. Core value Ber-AKHLAK dijelaskan sebagai pengerucutan nilai-nilai ASN yang ada di berbagai instansi pemerintahan. Jika sebelumnya kebijakan membangun budaya organisasi birokrasi ditata dengan peraturan menteri dan keputusan menteri, maka pada saat ini cukup ditetapkan berupa Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 20 Tahun 2021 tentang Implementasi Core Values dan Employer Branding ASN.

Core value yang baru ini diharapkan menjadi semangat yang sama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat agar tidak lagi minta untuk dilayani, tetapi memberikan pelayanan yang prima dalam membantu masyarakat. Dengan ditetapkannya core value Ber-AKHLAK diharapkan akan menguatkan budaya kerja ASN yang profesional dalam melayani masyarakat. Orientasi pelayanan yang berkualitas dan profesional harus dimaknai dengan baik oleh setiap ASN. Tidak sekadar menjadi jargon, tetapi harus diamalkan. ASN harus bisa mendobrak stigma negatif.  Core value dan nilai dasar ini kemudian juga dilengkapi dengan employer branding ASN ”Bangga Melayani Bangsa”.

Pengalaman menunjukkan bahwa organisasi pemerintah dan perusahaan BUMN, apalagi yang berskala ”raksasa”, adalah organisasi yang paling sulit dibangun budaya organisasinya. Penyebabnya sama, terlalu sering berganti pemimpin puncak. Edgar Schein, guru besar dari Sloan/MIT, dalam Organizational Culture and Leadership (1992), menemukan bahwa antara budaya dan pemimpin seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Pemimpin hadir membangun budaya organisasi, yang dibawa dari nilai-nilai budaya personalnya, menjadi budaya semua orang, dan kemudian budaya itu mengikat semua orang secara ”tidak tampak” untuk bekerja secara terpadu dan harmonis mencapai tujuan organisasi.

Hadirnya upaya pada saat ini membangun budaya organisasi AKHLAK adalah baik dan perlu mendapat dukungan, tetapi sekaligus juga membuktikan bahwa upaya membangun budaya organisasi sebelumnya tidaklah berhasil, apa pun argumen resminya.

Tiga masalah

Terlalu banyak nilai menjadikan ”diingat saja sulit, apalagi dilaksanakan”. Belum lagi metode perumusannya yang cenderung sangat akademik. Jadi, secara substansi, sudah tepat menetapkan AKHLAK sebagai budaya organisasi pemerintah, apalagi maknanya memang mudah dipahami. Pertanyaannya adalah ”sampai kapan” nilai budaya ini diberlakukan? Pemimpin baru pemerintahan sangat mudah ”tergoda” untuk menanamkan legacy-nya dalam berbagai hal, setidaknya yang paling mudah membuat budaya organisasi sebagai branding mereka atas suatu masa kepemimpinan pada suatu organisasi.

Kedua, membangun budaya organisasi yang berhasil tidak dibuat dalam bentuk ”peraturan organisasi”, tetapi ”kesepakatan lintas organisasi” untuk menemukan nilai apa yang membuat mereka berhasil sebelumnya dan mendukung keberhasilan ke depan. Budaya organisasi berbeda dengan peraturan organisasi. Apalagi, pada organisasi pemerintahan, di mana seorang menteri atau kepala hanya bertahan rerata lima tahun, atau kurang. Pergantian pemimpin disertai pergantian budaya organisasi merusak budaya organisasi itu sendiri; setiap warga mengalami anomali dan akhirnya alienasi budaya. Mereka menerima dan melaksanakan budaya bukan sebagai nilai, melainkan sebagai aturan yang harus dipatuhi jika ”ingin selamat”. 

Masalah ketiga, hampir semua pegawai pemerintah yang saya kenal adalah pribadi yang profesional, baik, jujur, dan bertanggung jawab. Mereka akan menerima nilai budaya apa saja yang diberikan pemimpin baru, sepanjang identik dengan nilai kebaikan yang mereka miliki. Kerusakan terjadi ketika pemimpin yang baru tidak segan-segan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bahkan membangun budaya korup; tidak segan-segan, misalnya, menyuruh birokrasi lebih melayani partainya daripada rakyat. Budaya organisasi bertemu dengan ”buaya organisasi”.

Benang merah

Upaya saat ini untuk menjadikan AKHLAK sebagai budaya organisasi birokrasi Indonesia adalah baik. Namun, metode, pendekatan, dan kebijakan yang digunakan tampaknya perlu ditingkatkan lagi agar tidak terulang kegagalan membangun budaya organisasi. Karena budaya organisasi adalah dimensi atau perangkat ”terlunak” dari organisasi, yang perlu pendekatan yang sesuai.

Sumber: Harian Kompas 28 Februari 2022

Artikel

Aset Negara dan Etika Jabatan

  • May 18, 2022May 19, 2022
  • by arwid

Oleh: Yusrizal Hasbi

Penataan kembali terhadap proses pengelolaan aset negara yang berkelanjutan sangat penting bagi lembaga/instansi pemerintah dalam membangun tata pemerintahan yang bersih (clean government). Dalam prinsip politik di negara demokrasi yang mapan, penggunaan aset negara hanya bisa dijustifikasi ketika menjabat. Ketika jabatan telah berakhir, berakhir pula hak untuk menggunakannya.

Pascareformasi, pengelolaan aset negara baru mendapat perhatian serius pasca-disahkannya UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Terbitnya pengaturan tersebut memberi legitimasi yang sangat kokoh terkait aset-aset negara (barang milik negara) yang seyogianya di kelola secara akuntabel, profesional, dan bertanggung jawab.

Urgensi aset negara perlu diinventarisasi agar tidak menimbulkan kerugian negara serta berpotensi terjadi tindak pidana korupsi. Di antara beragam aset negara, kita ambil contoh yang sering kali terjadi dan mendapat liputan berbagai media adalah kendaraan dinas. Sering kali ditemui dalam praktik penggunaannya bukan untuk kepentingan dinas pemerintahan, melainkan menjadi kendaraan pribadi. Persoalan lain juga muncul pada pejabat yang purnatugas. Post-power syndrome yang muncul biasanya keengganan mantan pejabat mengembalikan kendaraan dinas kepada petugas perbendaharaan negara. Rendahnya tingkat kesadaran menjadi pemicu utama perbuatan itu terus dilakukan.

Menyikapi hal tersebut, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Nomor 87/2005 tentang Pedoman Peningkatan Pelaksanaan Efisiensi, Penghematan, dan Disiplin Kerja disebutkan bahwa kendaraan dinas operasional hanya digunakan untuk kepentingan dinas yang menunjang tugas pokok dan fungsi. Penggunaan selain yang menunjang tugas pokok dan fungsi tentu tidak dapat dibenarkan.

Menindaklajuti persoalan aset negara memang dibutuhkan upaya persuasif dan represif. Konsep itu sangat tergantung dari kepemimpinan yang memainkan peran penting dalam perkembangan lembaga/instansi pemerintah mana pun.

Peran pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara baik dan benar perlu terus ditingkatkan, termasuk pengawasan masyarakat terhadap penyalahgunaan aset negara harus menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih. Terakhir, yang penting dilakukan adalah penertiban aset, baik melalui upaya persuasif maupun represif, untuk terjaminnya kepastian hukum aset negara.

Sumber: Harian Kompas 18 Mei 2022

Artikel

Diskresi, Imbauan, dan Kebijakan

  • May 10, 2022May 10, 2022
  • by arwid
Oleh: Antonius Tomy Trinugroho

Imbauan pemerintah agar aparatur sipil negara melakukan kerja dari rumah atau work from home merupakan ikhtiar untuk mengurai kepadatan arus balik.

Belum ada data sejauh mana diskresi itu mempunyai dampak mengurai kemacetan arus balik. Namun, sejauh terpantau lewat pemberitaan media, arus balik relatif lancar meski kemacetan parah terjadi di jalan-jalan arteri akibat penutupan jalan yang digunakan untuk satu arah bagi arus balik.

Kita hargai diskresi Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, lalu didukung dengan kebijakan ”dadakan” Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo, yang mewajibkan ASN kerja di rumah, serta imbauan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah soal perlunya kerja di rumah bagi karyawan swasta. Namun, di lapangan terjadi kebingungan. Terekam dari pemberitaan media, ada kebingungan dalam implementasi kebijakan itu.

Sejumlah pemimpin daerah di Tangerang, Bekasi, dan Jakarta masih menunggu surat edaran dan petunjuk teknis dari pusat. ”Kami tidak bisa serta-merta mengikuti imbauan dari Menteri PANRB karena kepala daerah sejak awal sebelum Lebaran sudah menyampaikan ada sanksi bagi ASN yang masuk tidak tepat waktu pascalibur Lebaran,” kata Taufik Hidayat, Kepala Dinas Catatan Sipil Kota Bekasi, Jawa Barat.

Beberapa hal bisa kita petik dari penanganan arus mudik dan arus balik Lebaran. Pemerintah memanfaatkan data perkiraan arus balik dan arus mudik serta data real time yang menjadi dasar rekayasa lalu lintas. Langkah pengambilan kebijakan berbasis data itu patut diapresiasi. Namun, harus diakui, karena diskresi itu tidak sepenuhnya terkomunikasikan dengan baik, yang terjadi adalah kemacetan di jalan-jalan arteri atau penutupan sesaat jalan tol.

Pelaksanaan kerja dari rumah setelah liburan merupakan diskresi Polri untuk mengurangi beban arus balik itu. Kita hargai diskresi itu. Namun, masalah adalah bagaimana memformulasi diskresi menjadi imbauan dan kemudian menjadi kebijakan yang bisa diikuti ASN. Di sini terjadi dualisme: siapa yang harus diikuti? Imbauan menteri atau kepala daerah setempat? Sebuah keputusan yang tidak mudah.

Meski pandemi sudah mengubah banyak hal, termasuk pola kerja, ternyata budaya kerja masih mengandalkan gaya lama. Model surat edaran, petunjuk teknis pelaksanaan, masih dibutuhkan agar ada keseragaman pelaksanaan. Surat edaran masih mengandalkan dalam bentuk kertas yang sebenarnya dalam sistem komunikasi yang canggih hal itu bisa diatasi.

Kita berterima kasih atas penanganan arus mudik dan balik tahun 2022. Kolaborasi antarlembaga sangat tampak. Namun, di masa mendatang, perencanaan dan penanganan yang komprehensif harus dilakukan, termasuk untuk mengatur hari masuk setelah liburan di era normal baru. Konsep work from everywhere bisa dilaksanakan dengan tetap mengedepankan pada kedisiplinan dan produktivitas.


Sumber: Harian Kompas 10 Mei 2022

Artikel

ASN atau Youtuber?

  • May 1, 2022May 1, 2022
  • by key

Oleh: Bhayu Kuncoro

Menjadi seorang abdi negara, saat ini menjadi impian jutaan orang di Indonesia. Setiap tahun penerimaan Aparatur Sipil Negara (ASN) selalu diikuti oleh jutaan pelamar. Dikutip dari akun twitter @BKNgoid pada Senin (17/02/2020), pelamar ASN tahun 2020 mencapai 3.361.802 orang. Hal ini membuktikan bahwa besarnya animo terhadap pekerjaan ASN.

Beberapa alasan yang menjadikan ASN sebagai pekerjaan impian adalah pandangan masyarakat bahwa ASN adalah pekerjaan yang prestisius, menjanjikan dan nyaman. Mengapa prestisius? Bagi orang menyandang status sebagai abdi negara “seolah” statusnya lebih tinggi dari masyarakat. Seorang ASN, apalagi yang memiliki jabatan diposisikan sebagai kelas atas dan harus dihormati. Ini merupakan budaya feodal peninggalan penjajah yang masih tertanam sangat kuat dalam masyarakat kita.

ASN juga dinilai sebagai pekerjaan yang menjanjikan. Jika dibandingkan dengan beberapa puluh tahun yang lalu, banyak masyarakat menolak menjadi abdi negara. Karena pada periode tahun 80 hingga 90-an, kesejahteraan ASN belum sebaik sekarang. Saat ini ASN yang baru diterima sudah dipastikan mendapat pendapatan yang dapat dibilang lumayan, apalagi dengan tambahan tunjangan kinerja dan lain-lain. Kesejahteraan ASN seringkali menjadi patokan sebagai standar hidup sejahtera. Bahkan, jika anda bekerja di perusahaan swasta yang gajinya lebih besar dari ASN, masih akan dianggap belum sesejahtera ASN.

Pekerjaan ASN itu nyaman. ASN adalah salah satu pekerjaan yang diatur dengan Undang-Undang. Sehingga kepastian status pekerjaan ini sudah pasti dan mengikat. Status pekerjaan ini lebih jelas daripada pekerjaan lainnya, misalkan sebagai pegawai swasta. Saat anda bekerja di perusahaan swasta, status anda sebagai pegawai hanya setebal satu helai rambut. Saat anda melakukan kesalahan yang berulang, maka dengan mudah pekerjaan itu hilang atau anda dipecat. Berbeda dengan ASN, untuk memecat seorang ASN memerlukan proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, banyak ASN yang terjebak pada “Zona Nyaman”. Ini sangat buruk dan berbahaya bagi performa dan kinerja pemerintah.

Gebrakan Jokowi

Untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut, Pemerintah melakukan gebrakan besar. Melalui Pidato Awal Jabatan Periode 2019 – 2024, Presiden Joko Widodo menyampaikan kebijakan Penyederhanaan Birokrasi dengan menyetarakan jabatan struktural menjadi jabatan fungsional yang lebih menghargai keahlian dan kompetensi. Lalu secara teknis diterbitkanlah Permenpan 28 tahun 2019 tentang penyetaraan jabatan struktural ke jabatan fungsional. Untuk diawal memang hanya menyasar pada pejabat struktural saja, namun keyakinan saya ke depan sebagian besar ASN akan diarahkan menjadi fungsional.

Secara konsep gebrakan ini merupakan kebijakan yang baik dan bertujuan mendongkrak performa dan kinerja pemerintah. ASN akan berkompetisi dengan keahliannya masing-masing sesuai dengan fungsi yang diembannya. Harapan ke depan tidak ada lagi istilah “Malas Rajin Gaji Sama”. Pada kondisi ini, maka iklim kerja ASN akan lebih kondusif, produktif dan kompetitif.

Namun apakah gebrakan itu dapat diterima dengan baik oleh seluruh ASN, khususnya pejabat struktural yang disetarakan? Melihat dari kondisi pasca penyetaraan, banyak kendala yang dihadapi, contohnya terjadi kebingungan terhadap pola kerja baru dan sikap feodal yang masih melekat.

Sebuah kewajaran jika para ASN yang disetarakan mengalami kebingungan terhadap pola kerja baru ini. ASN yang dulunya pejabat struktural yang memiliki beberapa orang anak buah yang dapat diperintah untuk melaksanakan sebuah kegiatan, saat ini harus mengerjakan kegiatan tersebut pada porsi atau level fungsionalnya. Karena setiap fungsional memiliki target berupa angka kredit yang didapat dari setiap pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakannya. Fungsional yang dulunya adalah pejabat struktural memang memiliki kewenangan sebagai koordinator, namun tugasnya hanya fungsi koordinatif, tidak sama dengan kewenangan selaku atasan dan bawahan. Ini juga merupakan akibat dari sikap feodal yang masih melekat pada paradigma ASN tersebut.

Menghadapi Perubahan dan Berdamai Dengan Keadaan

Sebuah kebijakan tidak akan bisa menyenangkan semua pihak. Dalam setiap kebijakan pasti ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Bagi seorang pejabat yang “diturunkan” menjadi fungsional pasti akan terjadi gejolak dalam dirinya. Kebingungan, putus asa, perasaan sia-sia, dan berbagai perasaan akan timbul akibat gebrakan ini. Kondisi ini akan menjadi lebih parah jika ASN tersebut hanya terlarut dan meratapi nasibnya.

Bagi saya sendiri, menghadapi kondisi ini memang awalnya berat, kaget dan sedikit putus asa. Di sini saya merasakan masa-masa di mana karier yang saya rintis runtuh seketika. Seolah-olah semesta tidak lagi mendukung dan meninggalkan saya. Namun beberapa waktu kemudian saya berfikir untuk melihat sisi positif gebrakan ini. Saya berkeyakinan bahwa gebrakan ini memiliki tujuan yang baik dan ada dampak positifnya untuk saya pribadi.

Salah satu cara untuk menerima kebijakan itu antara lain membangun kebanggaan terhadap pekerjaan “baru” ini. Saya menganalogikan jabatan fungsional serupa dengan pekerjaan seorang YouTuber. Mengapa YouTuber? Seorang YouTuber pasti memiliki channel yang khusus dan merupakan penggambaran dari kompetensinya. Bagi YouTuber, semakin dia kompeten maka semakin dia terkenal, menanjak kariernya dan akan menjadi referensi bagi masyarakat saat membutuhkan informasi berkaitan dengan kompetensi tersebut. Begitupun seorang fungsional, semakin dia kompeten, maka dia akan menjadi referensi baik bagi lingkungan kerjanya maupun masyarakat.

Pencapaian prestasi yang jelas berdasar kompetensi. Semakin tinggi peminat (subscriber) YouTuber maka akan semakin berkembang kariernya. Jenjangnya jelas, jika dia memiliki subscriber sebanyak 100.000 maka akan mendapat penghargaan berupa Silver Play Button, 1.000.000 subscriber mendapat Gold Play Button dan seterusnya. Serupa dengan fungsional, jika fungsional mendapatkan angka kredit hasil dari pekerjaannya maka akan mendapatkan jenjang karier tertentu, yakni Ahli Pertama, Ahli Muda, dan jenjang lainnya. Untuk mendapat peningkatan karier tersebut, tidak perlu dengan saling sikut dan menjatuhkan antar mereka, hanya perlu terus mengasah diri dan tingkatkan kompetensi.

Persaingan yang sehat dan iklim kompetitif yang berdampak pada peningkatan performa dan kinerja pemerintah akan terbangun jika setiap ASN dapat menerima kebijakan tersebut dengan hal-hal yang menyenangkan. Uraian di atas hanya merupakan salah satu contoh saja, masih banyak hal menyenangkan lainnya yang dapat dianalogikan untuk menghadapi perubahan ini. Sebuah pesan moral yang cukup mendalam yang dapat meningkatkan semangat, “Kerjakan apa yang kamu cintai dan cintailah apa yang kamu kerjakan.”

Salam ASN Produktif dan Kompetitif.

Bhayu Kuncoro – Perencana Ahli Muda Badan Narkotika Nasional Provinsi Kalimantan Barat

Sumber: Kumparan

Artikel

Strategi Kontekstualisasi dan Kolaborasi dalam Rangka Akselerasi Pelaksanaan Reformasi…

  • October 18, 2020June 17, 2022
  • by key

Oleh: Mohammad Averrouce

I.Pendahuluan

Peningkatan kinerja aparatur negara/birokrasi melalui reformasi birokrasi memiliki posisi yang sangat strategis terhadap keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan nasional, karena pelaksanaan reformasi di berbagai bidang lain akan tetap melibatkan aparatur negara/birokrasi sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya masaing-masing. Upaya peningkatan kinerja terus dilakukan melalui berbagai langkah strategis pada setiap aspek pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. Pelaksanaan reformasi birokrasi sejalan dengan Grand DerHasilnya telah menunjukan banyak kemajuan yang secara umum ditandai dengan adanya perbaikan sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan di pusat maupun daerah yang lebih kreatif, dinamis dan responsif terhadap berbagai permasalahan bangsa dan masyarakat. Meskipun demikian, hingga saat ini kinerja aparatur negara/birokrasi dirasakan masih belum optimal dalam mendukung keberhasilan pembangunan di berbagai bidang. Oleh karena itu, upaya pendayagunaan aparatur negara dalam kerangka reformasi birokrasi perlu terus dilanjutkan dalam tiap tahapan pembangunan jangka menengah dan panjang untuk mempercepat peningkatan kinerja birokrasi, perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik dan mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB) diberikan tugas strategis untuk menyelenggarakan urusan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi (Perpres 47/2015 dan PermenPANRB No. 25/2019) untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Tugas tersebut harus senantiasa dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, efektif, efisien dan akuntabel.     

Sesuai arahan RPJPN 2005-2025 (UU 17/2007) sebagai tindaklanjut tujuan bernegara dalam UUD 1945, sasaran pembangunan jangka menengah ke-4 2020-2025 adalah “mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing”. Dengan arah pembangunan terkait reformasi birokrasi yaitu “Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui Reformasi Birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya”.

RPJMN 2020-2024 (Perpres 18/2020) disusun sejalan dengan Visi Presiden dan wakil Presiden dalam Kabinet Indonesia Maju yaitu Visi “Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Visi tersebut diwujudkan melalui 9 (sembilan) Misi yang dikenal sebagai Nawacita Kedua yaitu: 1) Peningkatan Kualitas Manusia Indonesia; 2) Struktur Ekonomi Yang Produktif, Mandiri, dan Berdaya Saing; 3) Pembangunan Yang Merata dan Berkeadilan; 4) Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan; 5) Kemajuan Budaya Yang Mencerminkan Kepribadian Bangsa; 6) Penegakan Sistem Hukum Yang Bebas Korupsi, Bermartabat, dan Terpercaya; 7) Perlindungan Bagi Segenap Bangsa dan Memberikan Rasa Aman Pada Seluruh Warga; 8) Pengelolaan Pemerintahan Yang Bersih, Efektif, dan Terpercaya; 9) Sinergi Pemerintah Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan.

Visi dan Misi tersebut dikristalisasi dalan 5 Prioritas Kerja; 1) Percepatan Pembangunan Infrastruktur (Mempermudah interkoneksi kawasan produksi-distribusi, akses ke kawasan wisata, mendongkrak lapangan kerja baru, dan mempercepat peningkatan perekonomian rakyat); 2) Pembangunan SDM (SDM pekerja keras yang dinamis, produktif, terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi didukung dengan kerjasama industri dan talenta global); 3) Penyederhanaan Regulasi (Pendekatan Omnibus Law, terutama menerbitkan 2 undang-undang yaitu UU Cipta  Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM); 4) Penyederhanaan Birokrasi (Memangkas prosedur dan birokrasi, menyederhanakan eselonisasi guna mendukung investasi dan penciptaan lapangan kerja); dan 5) Transformasi Ekonimi (Transformasi ekonomi dari ketergantungan SDA menjadi daya saing  manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi)

Visi, Misi dan Prioritas kerja diterjemahkan dalam Tema RPJMN tahun 2020-2024 “: Percepatan Pembangunan dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing” dan dalam 7 agenda pembangunan RPJMN IV yaitu pertama, memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan; kedua, mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan; ketiga, meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan berdaya saing; keempat, revolusi mental dan pembangunan kebudayan; kelima, memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar; keenam, membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim; dan ketujuh, memperkuat stabilitas Polhukhankam dan transformasi pelayanan publik.

Dari ketujuh pilar pembangunan nasional tersebut, peranan dari Kementerian PANRB secara langsung ada pada pilar ke tujuh yaitu memperkuat stabilitas Polhukhankam dan transformasi pelayanan publik sebagai salah satu prasyarat keberhasilan pembangunan nasional di berbagai bidang. Pada upaya menegakkan pilar ketujuh ini, pemerintah kemudian menetapkan bahwa terdapat 1 program prioritas, yakni Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola. Program prioritas ini kemudian akan ditopang dengan empat kegiatan prioritas, yaitu: Penguatan implementasi manajemen ASN; Penataaan kelembagaan dan proses bisnis; Reformasi sistem akuntabilitas kinerja; Transformasi pelayanan publik.

RPJMN Tahun 2020-2024 sebagai mana diuraikan diatas selaras dengan Road Map RB 2020-2024 dan Renstra Kementerian PANRB 2020-2024 sehingga menjadi satu kesatuan integrasi kebijakan dalam mewujudkan birokrasi kelas dunia dengan tata pemerintahan yang baik didukung dengan birokrasi yang professional, berintegritas tinggi menjadi pelayanan masyarakat dan abdi negara.

Sebagai gambaran capaian program prioritas nasional Reformasi Birokrasi di tahun 2015-2019 ditujukan untuk mencapai tiga (3) sasaran utama yaitu; (1) Birokrasi yang bersih dan akuntabel, (2) Birokrasi yang efisien dan efektif, dan (3) Birokrasi yang memiliki pelayanan publik berkualitas. Keberhasilan pencapaian tiga (3) sasaran tersebut diukur dengan beberapa indikator. Berikut ini adalah tabel yang memperlihatkan berbagai capaian atas target dari ukuran keberhasilan yang telah dilakukan

Tabel 1. Pencapaian Ukuran Keberhasilan Tahun 2015-2019

Keterangan: (kolom merah): Belum Tercapai, (kolom abu):Indeks Belum tersedia

Dari tabel di atas terlihat bahwa pelaksanaan Reformasi Birokrasi tengah menuju ke arah yang lebih baik yang dibuktikan dengan peningkatan berbagai capaian dari kondisi  baseline  di  tahun  2014,  meskipun  masih  banyak beberapa ukuran keberhasilan yang belum mencapai target. Selain beberapa ukuran keberhasilan yang telah ditetapkan terdapat beberapa indeks yang dikeluarkan oleh lembaga internasional yang mencerminkan  pencapaian dari  pelaksanaan  Reformasi  Birokrasi  di  tahun 2015-2019. Berikut ini adalah beberapa indeks dari lembaga internasional yang menilai penyelenggaran pemerintah di Indonesia.

Tabel 2. Indikator dari Lembaga Internasional yang Mencerminkan

Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Indonesia

Indeks Lembaga Skor/                          Peringkat/                     Skala 2015 2016 2017 2018 2019/ *2020
Ease of Doing Business (Kemudahan Berusaha) World Bank Peringkat 1-190 114 109 91 72 73
Corruption Perceptions Index (Indeks Persepsi Korupsi)       Transparancy International Peringkat 1-190 88 90 96 89 95
Skor 0-100 36 37 37 38 40
Government Effectiveness Index (Indek Efektifitas Pemerintahan) World Bank Peringkat 121 98 95   n.a
Skor 0-100 46 53,37 54,81 59,13 n.a
E-Government Development Index (Indeks Pembangunan E-Gov/SPBE) UN         Peringkat 1-193 n.a 116 n.a 107 88*
Trust Barometer (Indeks Kepercayaan Publik kepada Pemerintah) Edelmen Skor 0-49 (Distrust)
50-59 (neutral)
60-100 (trust)
67 62 69 71 73

Tabel di atas memperlihatkan sejumlah peningkatan peringkat maupun skor pada sejumlah indeks yang digagas oleh lembaga internasional terkait beberapa hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Dari lima indeks yang tertera dalam Tabel 2, yakni Ease of Doing Business, Corruption Perceptions Index, Government Effectiveness Index, E-Government Development Index, dan Trust Barometer, secara umum keseluruhan indeks menunjukan tren peningkatan peringkat dan skor ke arah yang lebih baik. Terlebih lagi, E-Government Development Index mendapat kenaikan peringkat yang cukup pesat dari tahun 2018 yaitu peringkat 107 menjadi peringkat 88* pada tahun 2019/2020*. Hal ini menunjukan keseriusan pemerintah dalam melakukan perbaikan secara terus menerus dari berbagai aspek penyelenggaraaan pemerintahan. Meskipun demikian peningkatan ini harus didalami juga dalam konteks regional ASEAN, mengingat secara detail Indonesia masih berada dibawah Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Vietnam. Persaingan di tingkat regional ASEAN, ASIA dan Dunia mengharuskan penguatan yang lebih sistematik terhadap perbaikan yang dilakukan

Beberapa indeks tersebut yang tidak menjadi ukuran pada 2015-2019, dapat menjadi refleksi terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi karena hal-hal yang diukur dalam indeks-indeks tersebut terkait perubahan yang terjadi di sebuah negara. Kemudian, dampak maupun hasil reformasi birokrasi tidak boleh berhenti pada ukuran-ukuran bagi pemerintah itu sendiri, akan tetapi haruslah juga mencerminkan perubahan secara nyata pada perbaikan   kualitas semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan perubahan maupun perbaikan kualitas kesejahteraan di masyarakat. Sebagaimana arahan Presiden bahwa birokasi harus mampu memberikan pelayanan yang langsung dirasakan masyarakat (bukan hanya send tetapi delivered). Reformasi birokrasi dapat dijadikan sebagai faktor pendorong perbaikan ekonomi melalui penciptaan iklim investasi yang baik, penyederhaann prosedur dan penghapusan pungli, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan peningkatan daya saing bangsa dengan menciptakan ASN yang kompeten.

Dalam rangka akselerasi program prioritas RB 2020-2024 sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2020-2024, Road Map RB 2020-2024 dan Renstra Kementerian PANRB 2020-2024, yakni Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola, khususnya empat kegiatan prioritas, yaitu: Penguatan implementasi manajemen ASN; Penataaan kelembagaan dan proses bisnis; Reformasi sistem akuntabilitas kinerja; Transformasi pelayanan publik,Terdapat tujuh indikator sasaran yang akanmenjadi tolok ukur keberhasilan. Di bawah ini adalah rincian dari indikator tahun 2020-2024 beserta baseline.

Tabel 3. Sasaran dan Target Reformasi Birokrasi 2020-2024

Berkaitan dalam upaya pencapaian target prioritas nasional reformasi birokrasi tahun 2020-2024, Kementerian PANRB sesuai tugas dan fungsinya diharuskan mampu melaksanakan perumusan dan koordinasi kebijakan pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi kepada setiap instansi pemerintah di pusat dan daerah termasuk melakukan kolaborasi konstruktif dalam pelaksanaan level makro (kebijakan reformasi birokrasi yang ditetapkan oleh Tim Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional yang diketuai oleh Wakil Presiden RI) dan meso (K/L tertentu yang bertindak selaku aktor kunci dalam memberikan arah pelaksanaan reformasi birokrasi seperti Kementerian Keuangan, Kementerian PANRB, Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara, dan Bappenas). Secara mikro lebih detail percepatan dilakukan 84 K/L, 34 Pemerintah Provinsi dan 508 Pemerintah Kab/Kota. Disinilah kontekstualisasi dan kolaborasi menjadi 2 hal yang harus dilakukan dengan tepat, cepat dan detail melalui penetapan fokus dan prioritas. Pertama, fokus. yaitu, upaya reformasi birokrasi akan dilakukan untuk mengatasi akar masalah tata kelola pemerintahan, antara lain, masalah kelembagaan dan tata laksana, serta peningkatan kualitas SDM aparatur dan Kedua, prioritas.  Upaya reformasi birokrasi akan diprioritaskan pada perbaikan tata kelola pemerintah pada sektor-sektor strategis sesuai prioritas pembangunan, seperti misalnya masalah kemiskinan, pembangunan insfrastruktur, pengembangan pariwisata, dan seterusnya.

Capaian tahun 2019-2020 yang telah dilakukan dan terus diakselerasikan Kementerian PANRB yang berkolaborasi dengan K/L/Pemda tergambar diantaranya, sebagai berikut:

  • Pelaksanaan RB memperlihatkan hasil, yaitu terciptanya birokrasi yang adaptif, dinamis dan fleksibel yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, capaian RB yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menunjukkan hasil yang baik pada rata-rata Indeks RB Nasional pada level kementerian, lembaga, provinsi, hingga kabupaten/kota. Indeks RB Nasional pada level K/L meningkat dari skor 69,4 (2016) menjadi 72,43 (2019), pada level provinsi meningkat dari skor 56,59 (2016) menjadi 63,83 (2019), dan pada level kabupaten/kota menurun dari skor 55,95 (2016) menjadi 53,45 (2019). Hal ini dikarenakan semakin banyaknya kabupaten/kota yang melaksanakan RB.

Gambar 1. Capaian Reformasi Birokrasi 2019

  • Penyederhanaan birokrasi ditargetkan selesai pada 2020. Selain memangkas struktural menjadi dua level, pemangkasan lembaga atau badan juga ditargetkan selesai pada kurun waktu tersebut. Penyederhanaan birokrasi wajib dilakukan oleh seluruh instansi, baik pusat maupun daerah. Hingga September 2020, telah dilakukan penyederhanaan struktur birokrasi pada 41 kementerian dan lembaga. Terdapat penyederhanaan eselon III sebesar 53 persen, eselon IV sebesar 51 persen, dan eselon V sebesar 70 persen. Dengan demikian, dari penyederhanaan struktur pada 41 kementerian dan lembaga tersebut terdapat 24.644 atau sebesar 59 persen struktur organisasi yang disederhanakan.
  • Penerapan sistem merit diperkuat dengan berbagai kebijakan sistem manjemen SDM Aparatur dari aspek standarisasi jabatan dan kompetensi, perencanaan dan pengadaan ASN, manajemen karier dan talenta, manajemen kinerja dan kesejahteraan SDM Aparatur.
  • Penerapan SAKIP didorong untuk terus meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran yang merupakan hasil dari implementasi manajemen kinerja dan anggaran berbasis kinerja secara berkesinambungan.
  • Pelaksanaan evaluasi pelayanan publik menunjukkan adanya perbaikan kualitas pelayanan publik, baik di tingkat K/L maupun Pemda. Evaluasi Pelayanan Publik ini didasarkan pada enam aspek, yaitu: kebijakan pelayanan, profesionalisme SDM, sarana dan prasarana, sistem informasi pelayanan publik, konsultasi dan pengaduan, serta inovasi. Hasil dari evaluasi pelayanan publik menunjukkan adanya perbaikan kualitas pelayanan publik setiap tahunnya. Terdapat peningkatan capaian Indeks Pelayanan Publik Nasional dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2017 sebesar 3,28 dan pada tahun 2019 sebesar 3,63. Demikian juga terjadi peningkatan kualitas pelayanan publik pada Pemerintah Daerah, dimana pada tahun 2017 sebesar 3,28 dan pada tahun 2019 sebesar 3,43.
  • Berbagai kebijakan bidang PANRB telah dikeluarkan sepanjang 2020 sampai saat ini untuk mengakselerasi pelaksanaan reformasi birokrasi, termasuk dalam merespon terjadinya Pandemi COVID-19, sehingga memastikan bahwa aparatur negara tetap terus berperan dalam tugas dan fungsi masing-masing memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Langkah strategis kebijakan pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi dalam pelaksanaan dan percepatan pencapaian 3 Sasaran dan Target Reformasi Birokrasi 2020-2024, harus dapat dipahami, diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu, terarah dan sistematis oleh instansi pemerintah pusat dan daerah, tentunya kontekstualisasi dan kolaborasi menjadi penting, Bagaimana kontekstualisasi dan kolaborasi konstruktif dapat dilakukan dengan efektif dan efisien?

II. Analisa

Dalam kebijakan RB Nasional 2020-2024 bertujuan untuk mewujudkan birokrasi menjadi birokrasi berkelas dunia. Ini sejalan dengan arahan Presiden bahwa persaingan bukan hanya antar kabupaten atau antar provinsi, tetapi persaingan dilakukan dengan negara lain baik ditingkat regional maupun internasional dalam mendapatkan berbagai kesempatan, seperti sumber daya dan pasar. Berdasarkan evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi 2015-2019 terdapat beberapa isu strategis yang harus menjadi perhatian bersama yaitu intervensi politik, inkapabilitas ASN dan mentalitas silo, dan birokrasi yang tertutup.

Fokus akselerasi pelaksanaan reformasi birokrasi 2020-2024 diharapkan pada substansi kualitas dampak pelaksanaan RB pada instansi pemerintah pusat (Kementerian/Lembaga) maupun pemerintah daerah mendalam sampai level unit kerja utamanya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Prioritas percepatan reformasi birokrasi ini lebih diarahkan kepada pemerintah daerah mengingat sebagian besar instansi pemerintah pusat telah memiliki kerangka institusional yang relatif baik untuk melanjutkan reformasi birokrasi. Selain itu, reformasi pada birokrasi pemerintah daerah juga sejalan dengan Nawa Cita dan RPJMN yaitu membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan dan memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Gagasan tersebut merupakan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik sebagai bagian dari pemulihan kepercayaan publik kepada pemerintah. Sejak desentralisasi dimulai pada tahun 2001, sebagian besar urusan pelayanan publik sehari-hari diatur dan diurus oleh aparatur pemerintah daerah. Oleh sebab itu, relevansi fokus kualitas reformasi birokrasi pada pemerintah daerah menjadi semakin tinggi.

Secara jumlah lokus pemerintah daerah terdiri dari 34 Pemerintah Provinsi dan 514 Pemerintah Kab/Kota, Untuk itu kolaborasi harus dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak yang concern terhadap pelaksanaan reformasi birokasi, kerja sama dalam pelaksanaan pengawalan dan evaluasi dapat diinisiasi dengan pelibatan pemerintah daerah yang lebih maksimal (Pemerintah Provinsi menilai Kab/Kota diwilayahnya) di dukung oleh Perguruan tinggi di daerah dan masyarakat atau organisasi masyarakat yang concern terhadap pelaksanan RB dan pelayanan publik. Kolaborasi ini harus didukung dengan sistem pembinaan pelaksana pengawalan dan evaluasi serta tools verifikasi yang akuntabel dan transparan. Kolaborasi ini juga dapat memberikan pandangan bahwa birokasi semakin terbuka dan tidak silo.

Heterogenitas karakter Daerah yang jauh lebih tinggi dari instansi pemerintah pusat menjadikan penyeragaman aktivitas reformasi birokrasi mustahil dilakukan. Heterogenitas ini disebabkan perbedaan budaya lokal, lingkungan politik lokal, budaya organisasi, dan sumber daya. Dua faktor pertama cenderung tidak dihadapi oleh kementerian/lembaga. Meskipun demikian, kontekstualisasi reformasi birokrasi juga perlu diterapkan kepada kementerian/lembaga karena pada dasarnya setiap organisasi memiliki budaya, sumber daya, dan kondisi awal (baseline/starting point) yang berbeda-beda.

Kontekstualisasi juga saling berkaitan dengan pengarusutamaan reformasi birokrasi 2020-2024, utamanya terkait kolaborasi dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan dan perluasan agenda reformasi birokrasi. Partisipasi masyarakat membutuhkan perubahan pendekatan pemerintah menjadi fasilitatif, komunikatif, dan terbuka pada kepentingan yang beraneka ragam dari berbagai stakeholder dan masyarakat. Dibutuhkan keluwesan memahami budaya lokal sekaligus dibutuhkan kemampuan memahami, menyelami, dan memecahkan kompleksitas yang ada dalam masalah tersebut dengan pendekatan yang tepat. Solusi yang reaktif, seragam untuk setiap masalah tanpa memerhatikan keunikan masing-masing masalah akan cenderung berujung pada solusi sementara dan justru menjadi masalah yang lebih besar dalam jangka panjang.

Untuk mengembangkan reformasi birokrasi yang kontekstual dan kolaboratif, kerangka kerja dynamic governance yang digagas Neo dan Chen (2007) sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2 dapat digunakan sebagai kerangka strategi kontekstualisasi reformasi birokrasi untuk mewujudkan birokrasi yang dinamis. Pelaksanaan reformasi birokrasi adalah upaya untuk menciptakan sumber daya manusia aparatur yang andal (able people) dan kepemerintahan yang responsif (agile processes). Namun, untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia yang bersih, akuntabel, efektif, efisien, dan memberikan pelayanan publik berkualitas, dibutuhkan budaya organisasi pembelajar yang mampu berpikir antisipatif, reflektif, dan inovatif dengan berbasis pada budaya dan nilai-nilai luhur yang ada pada lingkungan internal dan eksternal birokrasi.

Gambar 2. Kerangka Kerja Dynamic Governance

Sumber: Neo dan Chen (2007)

Pemikiran antisipatif memiliki makna setiap aparatur negara (baik individual maupun kolektif sebagai organisasi) harus mampu berpikir jangka panjang dengan mempertimbangkan ketidakpastian yang ada di masa depan. Pemikiran reflektif berarti aparatur negara perlu mempertimbangkan prinsip kehati-hatian (prudential) dalam pembuatan kebijakan. Sementara itu, pemikiran inovatif berarti aparatur negara harus mampu berpikir dalam skala luas, termasuk potensi dampak kebijakan yang akan disusun terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat. Selain itu, pemikiran inovatif juga berarti aparatur negara harus mampu berpikir di luar kebiasaan (out of the box) dalam menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi.

Kemampuan berpikir antisipatif, reflektif, dan inovatif bukan dibangun semata-mata melalui pelatihan, melainkan juga lewat pembangunan proses bisnis kepemerintahan –baik penyusunan kebijakan, pembangunan daerah, maupun penyelenggaraan pelayanan publik– yang menjamin aparatur negara berpikir antisipatif, reflektif, dan inovatif dalam setiap keputusan dan tindakan administrasi pemerintahannya. Secara filosofis, proses bisnis seperti ini telah terwadahi oleh UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Namun, tentu setiap instansi perlu menyusun lebih lanjut proses bisnisnya masing-masing untuk menjamin kerangka kerja reformasi birokrasi kontekstual berbasis dynamic governance ini dapat berjalan baik. Perubahan proses bisnis ini pasti menghadapi tantangan baik berupa waktu penyesuaian ataupun resistensi dari sebagian SDM aparatur, namun dalam jangka menengah hingga jangka panjang, perubahan ini akan mengubah model mental keseluruhan aparatur negara, sehingga apapun perubahan lingkungan yang terjadi sebagai tantangan birokrasi, baik itu lingkungan politik, sosial, ekonomi, teknologi, ataupun masalah internal birokrasi, dapat disiapkan solusinya sejak dini sesuai kebutuhan masing-masing organisasi. Hasil dari pemikiran antisipatif, reflektif, dan inovatif yang berbasis budaya ini sangat mungkin berbeda-beda antarinstansi pemerintah, tetapi hasil tersebut juga adalah yang terbaik bagi instansi dan pada akhirnya bagi Indonesia.

Tantangan terbesar bagi pendekatan reformasi birokrasi kontekstual dan kolaboratif adalah memastikan keselarasan arah pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan birokrasi pada khususnya. Namun demikian, secara legal-formal, tantangan ini telah diantisipasi dengan ditetapkannya 8 (delapan) area perubahan dan hasil-hasil yang diharapkan dicapai oleh setiap instansi pelaksana reformasi birokrasi tingkat mikro. Menjadi tugas Kementerian PANRB sebagai penggerak utama reformasi birokrasi sekaligus bagian dari pelaksana reformasi birokrasi tingkat makro dan meso untuk memastikan arah kebijakan K/L/D konsisten dengan area perubahan ini, sekaligus dalam waktu bersamaan mendorong kontekstualisasi reformasi birokrasi sesuai kebutuhan masing-masing instansi.

Penguatan kapasitas oganisasi Kementerian PANRB dalam rangka percepatan reformasi birokrasi harus terus ditingkatkan diantaranya melalui penguatan koordinasi Sekretariat Tim Nasional RB dalam bersinergi dengan TIRBN dan TPKRBN secara lebih intensif dan rutin untuk memberikan masukan pelaksanaan kebijakan nasional RB kepada KPRBN; penguatan koordinasi dan sinkronisasi serta evaluasi kebijakan secara terintegrasi dengan seluruh unit kerja Kementerian PANRB sebagai penanggungjawab substansi area perubahan; penguatan koordinasi yang terkoodinir, intensif dan rutin melalui forum sharing pengetahuan antar K/L/D sehingga implementasi kebijakan yang dinilai baik dalam setiap area perubahan dapat secara cepat di replikasi oleh K/L/D; pengembangan sistem informasi dalam kerangka Knowledge Management Reformasi Birokrasi Nasional yang terintegrasi dalam satu data Kementerian PANRB sehingga berbagai pengetahuan pelaksanaan reformasi birokrasi dapat terintegrasi dan mudah diakses dalam pengambilan keputusan dan kebutuhan informasi K/L/D dalam bidang PANRB.

Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 telah memberikan pedoman dan warna baru dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Serangkaian penyempurnaan sistem yang merupakan kelanjutan dari reformasi birokrasi periode sebelumnya dan prioritasi dan pendalaman aspkek kualitas pada reformasi birokrasi telah terakomodasi dalam Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024. Dokumen hidup (living document) ini juga menjamin setiap instansi pelaksana reformasi birokrasi tingkat mikro (kementerian/lembaga/pemerintah daerah) untuk melaksanakan reformasi birokrasi sesuai kebutuhan masing-masing. Heterogenitas karakteristik dan kemajuan reformasi birokrasi di masing-masing instansi, terutama pemerintah daerah, merupakan faktor utama kebutuhan kontekstualisasi reformasi birokrasi ini. Penyempurnaan kontekstual perlu terus dikembangkan dalam uraian lebih detail mengenai program tahunan ditingkat makro, meso maupun mikro. Hal ini mengharuskan dibukanya ruang untuk melakukan reviu yang mendalam mengenai indicator, target dan rencana aksi yang kontekstual sesuai dengan kondisi masing-masing instansi.

Dalam rangka mendorong kontekstualisasi reformasi birokrasi, setiap instansi perlu mengembangkan kepemerintahan yang dinamis berbasis nilai-nilai dan budaya yang baik. Kerangka kerja dynamic governance yang berlandaskan prinsippemikiran antisipatif, reflektif, dan inovatif (think ahead, think again, think across) menjadi salah satu kerangka pikir dan kerja yang dapat digunakan instansi pemerintah. Hal ini dapat dilakukan dengan pengembangan budaya kerja sebagai upaya terintegrasi dalam pelaksanaan manajemen perubahan di K/L/D.

Dengan kontekstualisasi dan kolaborasi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, pemerintah tidak hanya menjadi lebih siap secara kelembagaan untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapinya, namun juga memiliki modal mental yang tepat untuk menghadapi tantangan-tantangan lain di masa depan.

III. Rekomendasi dalam Penyempurnaan Kebijakan dan Koordinasi, Sinkronisasi dan Evaluasi Kebijakan

Berdasarkan analisa diatas, beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan dalam penyempurnaan kebijakan terkait reformasi birokrasi yang kontekstual dan kolaborasi sebagai berikut:

1. Sebagai Dokumen hidup (living document) perlu dilakukan penyempurnaan kontekstual terhadap Road Map RB 2020-2024 dengan uraian lebih detail mengenai program dan kegiatan pertahun utamannya ditingkat makro, meso maupun mikro. Hal ini mengharuskan dibukanya ruang untuk melakukan reviu yang mendalam mengenai indikator, target dan rencana aksi yang kontekstual sesuai dengan kondisi masing-masing instansi yang terlibat dalam pelaksanaan reformasi birokrasi.

2. Fokus akselerasi pelaksanaan reformasi birokrasi 2020-2024 diharapkan pada substansi kualitas dampak pelaksanaan RB pada instansi pemerintah pusat (Kementerian/Lembaga) maupun pemerintah daerah mendalam sampai level unit kerja utamanya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Prioritas percepatan reformasi birokrasi ini lebih diarahkan kepada pemerintah daerah mengingat sebagian besar instansi pemerintah pusat telah memiliki kerangka institusional yang relatif baik untuk melanjutkan reformasi birokrasi.

Secara jumlah lokus pemerintah daerah terdiri dari 34 Pemerintah Provinsi dan 514 Pemerintah Kab/Kota, Untuk itu kolaborasi harus dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak yang concern terhadap pelaksanaan reformasi birokasi, kerja sama dalam pelaksanaan pengawalan dan evaluasi dapat diinisiasi dengan pelibatan pemerintah daerah yang lebih maksimal (Pemerintah Provinsi menilai Kab/Kota diwilayahnya) di dukung oleh Perguruan tinggi di daerah dan/atau masyarakat atau organisasi masyarakat yang concern terhadap pelaksanan RB dan pelayanan publik. Kolaborasi ini harus didukung dengan sistem pembinaan SDM yang melaksanakan pengawalan dan evaluasi serta tools verifikasi hasil penilaian yang akuntabel dan transparan. Kolaborasi ini juga dapat memberikan pandangan bahwa birokasi semakin terbuka dan tidak silo.

3. Penguatan kapasitas oganisasi Kementerian PANRB dalam rangka percepatan reformasi birokrasi harus terus ditingkatkan diantaranya melalui:

  • Penguatan koordinasi Sekretariat Tim Nasional RB dalam bersinergi dengan TIRBN dan TPKRBN secara lebih intensif dan rutin untuk memberikan masukan pelaksanaan kebijakan nasional RB kepada KPRBN;
  • Penguatan koordinasi dan sinkronisasi serta evaluasi kebijakan secara terintegrasi dengan seluruh unit kerja Kementerian PANRB sebagai penanggungjawab substansi area perubahan;
  • Penguatan koordinasi yang terkoodinir, intensif dan rutin melalui forum sharing pengetahuan antar K/L/D sehingga implementasi kebijakan yang dinilai baik dalam setiap area perubahan dapat secara cepat di replikasi oleh K/L/D;
  • Pengembangan sistem informasi dalam kerangka Knowledge Management Reformasi Birokrasi Nasional yang terintegrasi dalam satu data Kementerian PANRB sehingga berbagai pengetahuan pelaksanaan reformasi birokrasi dapat terintegrasi dan mudah diakses dalam pengambilan keputusan dan kebutuhan informasi K/L/D dalam bidang PANRB.

4. Pengembangan nilai-nilai kepemerintahan yang dinamis berbasis nilai-nilai dan budaya yang baik. Kerangka kerja dynamic governance yang berlandaskan prinsip pemikiran antisipatif, reflektif, dan inovatif (think ahead, think again, think across) menjadi salah satu kerangka pikir dan kerja yang dapat digunakan instansi pemerintah. Hal ini dapat dilakukan dengan pengembangan budaya kerja sebagai upaya terintegrasi dalam pelaksanaan manajemen perubahan di K/L/D.

Referensi:

  1. Aberbach, Joel D. & Tom Christensen, 2014, “Why reforms so often disappoint”, American Review of Public Administration, vol. 44, no. 1, pp. 3-16.
  2. Demmers, Jolle, Alex E. Fernandez Jilberto, & Barbara Hogenboom, 2004, “Good governance and democracy in a world of neoliberal regimes”, dalam Jolle Demmers, Alex E. Fernandez Jilberto, & Barbara Hogenboom (eds), Good Governance in the Era of Global Neoliberalism: Conflict and Depolitisation in Latin America, Eastern Europe, Asia, and Africa, New York, Routledge, pp. 1-32.
  3. Dwiyanto, Agus, 2010, Mengembalikan Kepercayaan Publik melalui Reformasi Birokrasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
  4. Edelman, 2015, “Edelman trust barometer 2013”, laporan penelitian, http://www.slideshare.net/EdelmanInsights/global-deck-2013-edelman-trust-barometer-16086761, dilihat pada 10 September 2015.
  5. Edelman, 2015, “Trust in Asia Pacific, Middle East, & Africa”, laporan, http://www.edelman.com/2015-edelman-trust-barometer/trust-around-world/trust-asia-pacific-middle-east-africa-2015/, dilihat pada 10 September 2015.
  6. Laporan Kinerja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tahun 2020.
  7. Neo, Boon Siong & Geraldine Chen, 2007, Dynamic Governance: Embedding Culture, Capabilities, and Change in Singapore, Singapore, World Scientific Publishing.
  8. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2020 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2025.
  9. Polidano, Charles & David Hulme, 1999, “Public management reform in developing countries”, Public Management Review, vol. 1, no. 1, pp. 121-132.
  10. Scharmer, C. Otto, 2009, Theory U: Leading from the Future as it Emerges, San Fransisco, Berrett-Koehler.
  11. Senge, Peter M. The Fifth Discipline: The Art & Practice of Learning Organization, New York, Doubleday/Currency.
  12. Vigoda-Gadot, Eran & Shlomo Mizrahi, 2014, Managing Democracies in Turbulent Times: Trust, Performance, and Governance in Modern States, Heidelberg, Springer.
Artikel

Peringkat e-Government Indonesia

  • September 22, 2020September 22, 2020
  • by arwid

Oleh: Husni Rohman

Peringkat Indonesia naik signifikan, dari ke-107 pada 2018 jadi ke-88 pada 2020, dari 193 negara. Demikian survei e-government yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa, Juli lalu.

Survei ini mengukur tingkat kecukupan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK), penguasaan SDM pada TIK, serta ketersediaan layanan publik secara daring (e-service). Survei ini mengukur kesiapan pemerintah 193 negara untuk memanfaatkan TIK dalam pelayanan publik.

Saat survei pertama tahun 2001, ditemukan fakta bahwa 169 dari 190 negara telah memanfaatkan internet untuk menyampaikan informasi melalui situs web resmi pemerintah. Namun, hanya 17 negara yang mampu menggunakan internet untuk pelayanan daring (online services).

Kondisi Indonesia

Saat survei pertama, 2001, kinerja e-government RI masuk negara berkapasitas minimal (minimal e-gov capacity) dengan indeks 1,34 pada peringkat ke-75. Indonesia satu kelompok dengan Filipina, India, China, dan Vietnam.

Negara-negara berperingkat teratas di antaranya Amerika Serikat (1), Singapura (4), Inggris (7), dan Korea (15). Negara-negara tersebut masuk negara berkapasitas tinggi (high e-gov capacity).

Tahun 2012, peringkat Indonesia naik ke-97, tetapi kembali turun ke peringkat 106 (2014) dan 116 (2016). Untuk tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-88 dari 193 negara, naik 19 peringkat jika dibandingkan pada 2018 pada posisi ke-107.

Beberapa negara Asia juga naik signifikan, di antaranya Kamboja (+21), China (+20), dan Thailand (+16). Saat ini Indonesia masuk kelompok negara berindeks tinggi (high EGDI group) bersama 70 negara lain.

Indonesia mendapat skor cukup tinggi untuk tiga komponen, yakni pelayanan daring, infrastruktur TIK, dan SDM TIK. Khusus untuk pelayanan daring, Indonesia dianggap berhasil dalam menyediakan pelayanan daring meski di tengah keterbatasan.

Menurut PBB, sejak 2018 secara global terjadi peningkatan rata-rata skor e-government pada 193 negara anggota PBB. Ini karena tingginya intensitas kemunculan pelayanan publik secara elektronik (e-service). Peningkatan dari 18 persen pada 2016 menjadi 47 persen pada 2018. Beberapa tren layanan daring adalah pendaftaran lowongan pegawai pemerintah, permohonan visa, pendaftaran jaminan sosial, dan izin usaha.

Temuan di level global tersebut sejalan dengan evaluasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB) 2019. Evaluasi mengukur tiga domain Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE/e-government), yakni kebijakan, tata kelola, dan layanan. Dari ketiga domain tersebut, skor domain layanan paling tinggi.

Domain layanan mengukur seberapa jauh instansi pemerintah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam memberikan pelayanan, baik pelayanan internal pemerintah maupun eksternal untuk masyarakat luas.

Evaluasi Kemenpan dan RB atas 486 instansi pemerintah menemukan bahwa mayoritas instansi pemerintah sudah menerapkan layanan elektronik. Baiknya kualitas layanan publik elektronik terutama dimiliki kementerian dan LPNK, sedangkan pemerintah kabupaten dan kota masih berkualitas cukup.

Namun, masih banyak persoalan, seperti tidak terintegrasinya layanan, tidak berkesinambungan, serta layanan belum berorientasi pada kebutuhan pengguna. Selain itu, masih ada tumpang tindih aplikasi karena proses pembangunan dan pengembangan aplikasi tidak terkoordinasi.

Mandat Perpres 95/2018

Di Indonesia, selama Juli 2003 hingga Desember 2014, tercatat kenaikan domain.go.id dari 247 ke 721 (Fathul, 2004). Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, hingga Agustus 2019 tercatat 4.114 domain.go.id.

Sebagai panduan kebijakan, Indonesia memiliki Instruksi Presiden No 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government. Strateginya lewat pengembangan sistem layanan, penataan sistem dan proses kerja pemerintah, serta peningkatan SDM TIK.

Meskipun demikian, inpres tersebut tidak berjalan efektif karena justru setiap instansi pemerintah membangun infrastruktur, sistem, dan aplikasi sendiri. Maka, pada akhir 2018 terbit Perpres No 95/2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).

Dua prinsip utama didorong oleh perpres ini, yaitu keterpaduan dan interoperabilitas. Keterpaduan berarti integrasi unsur-unsur dasar SPBE, yaitu proses bisnis, data, infrastruktur, aplikasi, keamanan, dan layanan masyarakat. Sementara interoperabilitas berarti kolaborasi semua unsur SPBE.

Dalam jangka pendek dan menengah perlu penyusunan arsitektur SPBE nasional, penetapan aplikasi umum pemerintahan, pembangunan pusat data nasional, pengelolaan portal data nasional, penyiapan jabatan fungsional SPBE, dan adanya portal pelayanan publik.

Masa pandemi telah mempertegas agenda prioritas reformasi birokrasi seperti digariskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni penyederhanaan birokrasi, pelayanan terpadu secara daring, penataan kelembagaan pemerintah, dan percepatan penerapan SPBE/e-government.

Husni Rohman (Kepala Subdirektorat Kualitas Pelayanan Publik Bappenas)

Sumber: Harian Kompas 22 September 2020

Artikel

Perampingan Birokrasi Direspons Positif

  • September 18, 2020September 18, 2020
  • by arwid

Oleh: Arita Nugraheni/ Litbang Kompas

Upaya pemerintah merampingkan birokrasi direspons baik oleh masyarakat. Birokrasi yang ringkas dinilai akan meningkatkan kualitas pelayanan dan menghemat anggaran. Perbaikan tata laksana pemerintahan ini  tidak bisa lagi ditunda.

Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan, 9 dari 10 responden setuju jika birokrasi lebih ringkas dan ramping. Upaya pembubaran lembaga negara yang tidak lagi efektif juga dinilai akan menghemat anggaran dan peningkatan kualitas pelayanan.

Sebanyak 37,4% responden menilai pembubaran lembaga sebagai cara penghematan anggaran sekaligus perbaikan kinerja birokrasi. Gemuknya birokrasi dikhawatirkan menyebabkan tumpang tindih wewenang yang akhirnya berdampak pada tumpang tindih program. Sebanyak 51,4% responden menyatakan, tumpang tindih program yang memboroskan anggaran adalah persoalan paling menonjol.

Pada 2016, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB) menghitung potensi inefisiensi akibat tumpang tindih program kerja tanpa manfaat (outcome) dapat mencapai Rp 397 triliun per tahun. Angka ini belum termasuk inefisiensi akibat gemuknya struktur organisasi yang membuat biaya tinggi, baik untuk membiayai pejabat ataupun jalannya organisasi (Kompas, 28/7/2020).

Pada Juli 2020, sebanyak 18 lembaga berbentuk badan, komite, dan tim koordinasi secara bertahap dibubarkan. Langkah ini dikomandoi Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020. Tujuannya untuk efisiensi anggaran di tengah pandemi Covid-19. Selain itu, Kementerian PANRB juga sedang mengkaji pembubaran sejumlah lembaga nonstruktural lain (Kompas, 22/7/2020).

Arsip Kompas mencatat, sejak 2014 hingga 2020, terdapat 41 lembaga nonstruktural yang telah dibubarkan. Rinciannya, 10 lembaga dibubarkan pada 2014, 2 lembaga tahun 2015, 10 lembaga pada 2016, 1 lembaga tahun 2017, dan terakhir 18 lembaga pada  Juli 2020.

Terkait kebijakan itu, 78% responden menyatakan, pemerintah perlu membubarkan lembaga negara dengan kinerja rendah, minimal yang sudah dibentuk lima tahun. Sebanyak 32,1% dari kelompok yang setuju ini mengatakan pembubaran sudah sangat mendesak dilakukan.

Pengalaman publik

Dukungan program debirokratisasi ini didasari pada pengalaman publik yang masih  menghadapi pelayanan birokrasi yang tak profesional. Separuh lebih responden pernah berurusan dengan lembaga negara yang pelayanannya kurang baik. Hal itu dapat dilihat dari tiga aspek, yakni dari ketatalaksanaan, aparatur, dan kelembagaan.

Pada aspek ketatalaksanaan, 69% responden menyatakan pernah berurusan dengan alur birokrasi rumit. Sebanyak 22,5% di antaranya mengaku mengalaminya dalam frekuensi sering. Dari sisi aparatur sipil negara (ASN), 63,7% responden mengaku pernah berurusan dengan ASN berkinerja buruk. Sebanyak 21,8% di antaranya mengalaminya dalam frekuensi sering.

Bank Dunia mencatat, Indeks Efektivitas Pemerintahan (IEP) Indonesia tahun 2018 berada di posisi ke-95 dengan skor 54,8.  Dalam skala 0-100, makin tinggi skor, makin baik efektivitas pemerintah. Meski masih rendah, IEP Indonesia naik 26 tingkat dari posisi ke-121 pada 2016.

Dari sisi kuantitas, Kementerian PANRB juga telah melakukan penyederhanaan struktur jabatan. Tercatat 41 kementerian/lembaga (K/L) menyederhanakan struktur jabatan dan 35 K/L di antaranya memangkas lebih dari 70% jabatan eselon III-V. Total ada 24.644 jabatan yang dihapus (Kompas, 12/8/2020).

Sementara itu, dari sisi lembaga, 53% responden jajak pendapat Kompas menyatakan pernah berurusan dengan lembaga negara yang tidak profesional. Sebanyak 16,3% di antaranya bahkan mengaku sering mengalaminya. Lembaga yang tidak kompeten dalam melayani publik makin mendesak dirampingkan.

Apalagi, alur birokrasi dan organisasi yang gemuk juga berpotensi menjadi celah korupsi. Kolaborasi Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Kementerian PANRB, Kantor Staf Presiden, serta KPK dalam Strategi Nasional Pencegahan Korupsi menyebut perizinan dan tata niaga serta reformasi birokrasi sebagai dua sektor yang paling banyak indikasi korupsinya.

Adapun 41,4% responden jajak pendapat menilai, birokrasi yang panjang dan rumit adalah persoalan paling menonjol di pemerintahan. Sementara 22% menyatakan lembaga dengan fungsi tak jelas juga menurunkan kualitas birokrasi.

Dukungan masyarakat pada perampingan lembaga dan debirokratisasi diharapkan menjadi energi penyulut agar pemerintah terus berbenah.

Sumber: Harian Kompas 1 September 2020

Artikel

Reformasi Birokrasi Uni Emirat Arab

  • July 7, 2020July 7, 2020
  • by arwid

Oleh: A Tomy Trinugroho

Di tengah pandemi, pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) melakukan efisiensi dan percepatan pengambilan keputusan dalam pemerintahan. UEA berbenah dengan merampingkan lembaga negara dan mulai mendigitalisasi layanan umum secara masif.

UEA menganut sistem pemerintahan, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Tertinggi. Majelis ini beranggotakan tujuh emir (pemimpin) dari tujuh emirat yang bergabung di UEA. Meskipun tak tertulis, presiden UEA terpilih selalu berasal dari keemiran Abu Dhabi, Al-Nahyan, dan wakil presiden dari Dubai, Al-Maktoum.

Perubahan apa pun di UEA tak lepas dari peran Majelis Tertinggi sebagai pembuat kebijakan utama. Majelis mempunyai fungsi legislatif dan eksekutif, antara lain membuat undang-undang (UU) federal dan menyetujui perdana menteri (PM) yang dicalonkan presiden.

Wakil Presiden Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, sekaligus PM UEA, Minggu (5/7/2020), mengumumkan perombakan pemerintah secara luas. Perombakan ini bertujuan menciptakan birokrasi yang lebih fleksibel dan modern untuk mengatasi tantangan saat pandemi Covid-19 dan harga minyak yang rendah sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi UEA (Kompas, 6/7/2020).

Al-Maktoum akan mengubah 50 persen pusat layanan pemerintahan menjadi platform digital dalam dua tahun serta menggabungkan separuh agen federal dan kementerian. Kementerian Perindustrian dan Pengembangan Teknologi yang baru dibentuk, misalnya, adalah gabungan Otoritas Emirates untuk Standardisasi dan Metrologi serta Menteri Negara Ilmu Pengembangan Pengetahuan.

Perubahan radikal di UEA sebenarnya dimulai dengan pemilihan tidak langsung sebagai bagian dari proses memodernisasi sistem pemerintahan. Pemilu tahun 2015 menghasilkan Dewan Nasional Federal (FNC) dengan 25 persen anggota perempuan. Sejak saat itu ada perempuan yang menjabat menteri dan menempati posisi di pengadilan.

Kita melihat, Abu Dhabi dan Dubai bergerak menjadi kota metropolitan baru di kancah global. Maskapai Emirates dan Etihad, berikut Bandara Abu Dhabi dan Dubai, menjadi hub penerbangan internasional dan bandara tersibuk di dunia.

Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi UEA akan berkontraksi sebesar 3,5 persen tahun 2020 akibat pandemi. Namun, Dubai tetap berencana menjadi tuan rumah World Fair meskipun sadar pertumbuhan ekonomi positif baru bisa diraih pada 2021.

Warga UEA menikmati hasil pembangunan negaranya. Mereka mendapat subsidi perumahan, layanan kesehatan gratis, pendidikan tinggi gratis, beasiswa di luar negeri, serta sesekali pembebasan utang. Perubahan di UEA belum menjalar, baik dari sisi politik maupun ekonomi, ke negara di kawasan yang sekarang didominasi perang dan tragedi kemanusiaan.

Sumber: Harian Kompas terbitan 7 Juli 2020

Artikel

5 Faktor Krusial dalam Manajemen Talenta

  • June 23, 2020July 7, 2020
  • by key

Oleh: Adi Junjunan Mustafa – Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian PANRB

Pada tahun 2000 McKinsey & Company melakukan survei terhadap 13.000 manager pada 112 perusahaan besar di Amerika. Ini kelanjutan studi mereka setelah tahun 1997 mereka menggaungkan terminologi the war for talent. Di era bekerja berbasis pengetahuan, talenta pada perusahaan merupakan aset paling penting yang membentuk nilai dan menjamin tercapainya tujuan strategis perusahaan.

Adanya perang talenta ini membuat perusahaan atau organisasi mengubah secara radikal cara memperlakukan pegawai. Diekstrak dari survei di atas, berikut ini lima faktor yang harus dilakukan organisasi dalam manajemen talenta:

1. Menanamkan mindset tentang manajemen talenta pada semua level manajer, mulai dari pucuk pimpinan. Setiap manajer memiliki pemikiran fundamental untuk menyatukan tujuan strategis organisasi dengan pengelolaan talenta. Mereka terus-menerus menciptakan, menumbuhkan, dan mendukung para talenta.

2. Menciptakan Employee Value Proposition (EVP) untuk menarik talenta bergabung dan mempertahankan mereka (talent retention). EVP secara sederhana menjawab pertanyaan “mengapa para talenta mau bekerja di organisasi ini?”. Jawabannya karena:

i) ada suasana kerja yang menyenangkan: orang senang dengan pekerjaan yang menarik, menantang, dan mereka ingin mendapatkan passion dan bermakna dalam bekerja;

ii) ini organisasi yang hebat: manajemennya bagus, nilai dan budaya organisasinya mengagumkan, pemimpinnya keren-keren, juga menekankan dan menghargai kinerja, serta lingkungan orang-orang yang terbuka dan saling mempercayai;

iii) ada kesejahteraan dan penghargaan: orang suka diberi imbalan uang sepadan dengan nilai yang mereka hasilkan, juga mendapatkan penghargaan sesuai dengan kontribusi yang mereka berikan;

iv) ada penumbuhan dan pengembangan: para talenta ingin organisasi membantu mereka mengembangkan keterampilan mereka, karena dengan meningkatnya kompetensi ini mereka semakin valuable di tengah persaingan yang makin ketat.

3) Terus merekrut talenta hebat. Talenta ini harus mengisi seluruh level organisasi, bukan hanya pada entry-level. Organisasi bukan lagi membeli orang untuk bekerja, akan tetapi “menjual” nama perusahaan untuk dapat membuat talenta terbaik bergabung di organisasinya.

4) Menumbuhkan pemimpin hebat.Pemimpin yang dibutuhkan adalah yang mampu menggali, menjadi mentor, dan menumbuhkan para talenta yang mereka pimpin. Keberadaan pemimpin yang atentif sangat berpengaruh pada passion dan kinerja para talenta. Mereka selalu memberikan bimbingan untuk meningkatkan kompetensi para talenta dengan cara yang elegan. Coaching dan counseling mereka lakukan dengan cara yang menyenangkan. Para talenta pun akan terus merasakan penambahan value yang semakin tumbuh dan berkembang pada dirinya.

5) Melakukan diferensiasi secara tegas terhadap high-performers dengan mereka yang berkinerja sedang dan kurang. Ini dilakukan dengan proses pemetaan yang akurat dan bijaksana. Penetapan dan pengukuran indikator kinerja menjadi masalah krusial. Mesti dilakukan dialog kinerja yang matang. Pihak perusahaan dan para talenta mencari titik paling optimal dalam penentuan indikator kinerja ini. Kemudian mesti dilakukan juga pembedaan perlakuan dalam bentuk reward system dan juga kesempatan melakukan pengembangan kompetensi. Hanya dengan cara ini people-management akan berlangsung tepat sasaran.

Artikel

”Normal Baru” Birokrasi

  • June 17, 2020June 17, 2020
  • by arwid

oleh: Eko Prasojo (Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UI)

Wabah Covid-19 yang sudah berlangsung di Indonesia tiga bulan ini memberikan dampak luar biasa, tidak saja pada aspek ekonomi, tetapi juga pada perubahan interaksi sosial di masyarakat ataupun pola kerja, baik di swasta maupun birokrasi.

Selain aspek penyembuhan pasien Covid-19 dan berbagai program pencegahan, seperti pembatasan sosial berskala besar , pemerintah saat ini tengah mempersiapkan kebijakan normal baru (new normal). Menteri Kesehatan juga telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di tempat kerja perkantoran dan industri sebagai langkah mempersiapkan ruang kerja baru di era normal baru.

Apa makna normal baru untuk birokrasi publik dan apa yang harus dipersiapkan untuk melaksanakan pekerjaan birokrasi di era normal baru ini? Bagaimana kita memanfaatkan momentum krisis ini untuk perubahan fundamental birokrasi?

Ruang kerja baru birokrasi

Setiap kesulitan memberikan hikmah tersendiri. Wabah Covid-19 ini telah memaksa berbagai pihak, mulai dari sekolah, universitas, perkantoran, industri, hingga birokrasi bertransformasi digital secara cepat dengan memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Working from home (WfH) atau bekerja dari rumah mendadak menjadi sangat terkenal dan menggantikan berbagai aktivitas manusia yang selama ini dilakukan secara manual.

Situasi yang memaksa ini berhasil secara cepat mengubah pola kerja baru manusia yang didukung oleh kemajuan teknologi. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) di perguruan tinggi menjadi model perkuliahan yang biasa meskipun dengan berbagai keterbatasan.

Wabah Covid-19 telah menciptakan ruang kerja baru di berbagai lapangan kerja, termasuk di birokrasi publik. Ruang kerja baru ini merupakan transformasi digital, yaitu proses mempersiapkan perubahan birokrasi dengan mempergunakan berbagai perkembangan teknologi mutakhir, seperti teknologi informasi dan komunikasi, teknologi robot, dan teknologi nano. Ruang kerja baru ini membutuhkan lima komponen utama perubahan.

Pertama, ruang kerja yang fleksibel dan berjejaring. Aparatur sipil negara (ASN) di era normal baru tak harus setiap hari ke kantor karena berbagai pekerjaan dapat dilakukan di mana saja, termasuk di rumah. Dengan demikian, presensi (kehadiran) pegawai di kantor dapat diatur sedemikian rupa berdasarkan tingkat urgensi.

Di samping mencegah terjadinya penularan Covid-19, kehadiran minimal pegawai di kantor dapat mengurangi kemacetan, efisiensi penggunaan bahan bakar kendaraan dan ongkos transportasi, biaya rapat yang selama ini dibutuhkan, serta kualitas dan keseimbangan kehidupan dengan keluarga.

Kedua, penyiapan infrastruktur dan pembelajaran superaplikasi (superapp) yang memungkinkan kantor virtual dan digital. Gedung-gedung perkantoran saat ini menjadi semakin berkurang kebutuhannya dalam era normal baru. Pemerintah harus melakukan transformasi menyeluruh terhadap proses bisnis dan struktur organisasi birokrasi publik dengan menciptakan teknologi superapp yang memungkinkan berbagai keperluan pekerjaan dilakukan dan diperoleh secara digital.

Rapat, interaksi antarpegawai, proses kerja antarunit pemerintah, pelayanan kepada masyarakat, dan seluruh basis data pekerjaan bisa dilakukan melalui media digital. Dengan demikian, biaya pemeliharaan gedung perkantoran akan berkurang, serta kebutuhan anggaran untuk membangun dan memelihara superapp sebagai ruang kerja baru semakin meningkat, termasuk kebutuhan jaringan Wi-Fi bagi ASN. Bahkan pekerjaan manusia kelak di sektor pelayanan publik akan digantikan agen-agen robot (robotic agents) yang memiliki kemampuan kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI).

Ketiga, peningkatan kapabilitas ASN dalam berinteraksi dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk dengan big data dan AI, sangat dibutuhkan. Hal ini sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah karena profil masyarakat Indonesia saat ini, berdasarkan Susenas BPS 2017, didominasi oleh generasi milenial, yaitu generasi Y (33,75 persen) dan generasi Z (29,23 persen).

Adapun generasi X hanya 25,74 persen. Generasi milenial seperti diketahui sangat adaptif dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pemerintah perlu segera membuat program untuk mengintegrasikan kapabilitas generasi milenial ini dalam birokrasi yang digital.

Keempat, dalam era normal baru pasca-Covid-19 harus segera dilakukan penataan bisnis proses dan alur kerja birokrasi. Karena tidak semua pegawai harus datang ke kantor dan sebagian pekerjaan dan pelayanan publik dilakukan secara digital, maka proses bisnis pemerintahan dan pelayanan harus segera disederhanakan dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Seperti pelayanan di swasta yang saat ini dilakukan secara daring, misalnya Tokopedia dan Traveloka, pelayanan publik juga dapat dilakukan secara lebih mudah berbasis daring.

Banyak proses bisnis yang harus dipangkas dan struktur organisasi yang harus segera dipotong. Era normal baru birokrasi akan mempercepat berbagai pelayanan kepada masyarakat dan pengambilan keputusan.

Kelima, era normal baru birokrasi membutuhkan ASN berkualitas dan berkompetensi untuk mengelola ruang kerja baru. Jumlahnya mungkin tak terlalu banyak, tetapi bisa melakukan berbagai pekerjaan secara cepat dan berkualitas. Karena itu, perlu talent pool management yang mengelola sumber daya ASN yang unggul dan dapat dipergunakan di seluruh birokrasi di Indonesia (pusat, provinsi, kabupaten/kota).

Indikator kinerja yang jelas

Era normal baru birokrasi membutuhkan indikator kinerja yang jelas, baik di level individu maupun di level organisasi. Ruang kerja baru yang dapat dilakukan secara fleksibel, apakah dari rumah atau di mana saja seorang pegawai berada, tak mungkin bisa berjalan dengan baik jika tak didukung indikator yang jelas.

Problem birokrasi Indonesia sampai saat ini adalah ketiadaan ukuran indikator kinerja, baik di level organisasi maupun di level individu. Jika era normal baru birokrasi ini diharapkan memperoleh hasil maksimal, pemerintah harus segera melakukan perbaikan proses perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja.

Program pembangunan harus memiliki indikator dan target kinerja yang jelas sehingga kegiatan yang tidak berhubungan dengan capaian kinerja program harus dihapuskan. Jika hal ini bisa dilakukan, selain efisiensi anggaran pembangunan dapat dicapai, target-target pembangunan juga semakin mudah diperoleh, dan struktur organisasi pemerintah (dalam hal ini kementerian/lembaga/organisasi pemerintah daerah) dapat disederhanakan dengan berbasis indikator kinerja. Banyak sekali struktur organisasi pemerintahan yang bisa dipangkas karena tak berhubungan dengan indikator kinerja pemerintahan dan pembangunan.

Merger kementerian dan lembaga dapat segera dilakukan dengan basis kinerja pembangunan yang terbagi (shared outcome and impact). Jika indikator organisasi semakin jelas, indikator kinerja individu dapat dirumuskan dan ditetapkan sebagai basis perjanjian kinerja yang saat ini disebut sebagai sasaran.

Kinerja pegawai (SKP)

Indikator kinerja pegawai yang jelas akan memudahkan seorang ASN bekerja dari rumah atau dari mana saja. Saat ini banyak sekali pegawai ASN yang tak memiliki indikator kinerja yang jelas dalam SKP sehingga bekerja dari rumah tak bisa diukur kinerjanya. Pegawai yang tak memiliki indikator kinerja yang jelas dapat ditawarkan untuk mengambil pensiun dini atau memilih karier kedua di swasta.

Pada sisi lainnya, untuk memperkuat indikator dan target kinerja pembangunan yang lebih baik, dibutuhkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKP) di tingkat nasional sebagai indikator kinerja pembangunan nasional. Hal ini akan menjadi dasar dalam penyusunan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Selama ini banyak capaian pembangunan bersifat fragmented di antara kementerian dan lembaga karena tidak adanya penyelarasan di tingkat nasional, bahkan sebagian juga dapat diukur indikator kinerja hasil dan dampaknya.

Normal baru birokrasi dengan demikian adalah birokrasi yang semakin ramping, semakin cepat, akuntabel, efisien, dan efektif. Wabah Covid-19 adalah momentum untuk memaksa perubahan radikal dan fundamental birokrasi Indonesia menuju birokrasi digital. Semoga.

Sumber: Harian Kompas 13 Juni 2020

Posts navigation

1 2 3

Kalendar

July 2022
M T W T F S S
« Jun    
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031

Tentang Kami

Tim RBI Kementerian PANRB dibentuk melalui Surat Keputusan Menteri No. 14 Tahun 2018 dengan Ketua Pelaksana Sekretaris Kementerian PANRB.

Kontak Kami

021 – 7398382 ext:2095
set_rbi@menpan.go.id

Sekretariat RBI Kementerian PANRB
Jl. Jendral Sudirman Kav. 69 Lantai 6 Jakarta 12190

Media Sosial Kementerian PANRB

Kenal lebih dekat !

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube
Reform Kita - 2019
Theme by Colorlib Powered by WordPress