
Tantangan Membangun Budaya Organisasi Birokrasi
oleh: Riant Nugroho
Salah satu kritik terpedas kepada birokrasi adalah tidak berbudaya, atau dalam bahasa awam mungkin dapat disebut ”tidak beradab”. Sejak era pascareformasi, upaya membangun budaya birokrasi menjadi upaya yang sangat serius, terutama semenjak salah satu indikator kinerja utama dari keberhasilan reformasi birokrasi adalah menjadi birokrasi dengan budaya organisasi.
Permen PANRB No 39/2012 berjudul Peraturan Menteri PANRB tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja, Peraturan Presiden No 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014, Peraturan Presiden No 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi, dan Permen PANRB No 1/2007 tentang Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Pengembangan Budaya Kerja pada Instansi Pemerintah. Sebelumnya, pada tahun 2002, telah pula ditetapkan Keputusan Menteri PANRB No 25/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. Ternyata, total ada 34 nilai budaya kerja dari aparatur negara.
Pada 27 Juli 2021, Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan core value aparatur sipil negara (ASN), yaitu Ber-AKHLAK. Peluncuran core value ini bertujuan untuk menyeragamkan nilai-nilai dasar bagi seluruh ASN di Indonesia sehingga dapat menjadi fondasi budaya kerja ASN yang profesional. Core value Ber-AKHLAK merupakan singkatan dari Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif.
Penetapan budaya organisasi atau core value AKHLAK ini karena ada perbedaan penerjemahan terhadap nilai-nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku ASN yang tertuang pada UU No 5/2014 tentang ASN. Oleh karena itu, Kementerian PANRB menetapkan core value baru untuk menciptakan persepsi yang sama atas nilai-nilai dasar ASN. Core value Ber-AKHLAK dijelaskan sebagai pengerucutan nilai-nilai ASN yang ada di berbagai instansi pemerintahan. Jika sebelumnya kebijakan membangun budaya organisasi birokrasi ditata dengan peraturan menteri dan keputusan menteri, maka pada saat ini cukup ditetapkan berupa Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 20 Tahun 2021 tentang Implementasi Core Values dan Employer Branding ASN.
Core value yang baru ini diharapkan menjadi semangat yang sama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat agar tidak lagi minta untuk dilayani, tetapi memberikan pelayanan yang prima dalam membantu masyarakat. Dengan ditetapkannya core value Ber-AKHLAK diharapkan akan menguatkan budaya kerja ASN yang profesional dalam melayani masyarakat. Orientasi pelayanan yang berkualitas dan profesional harus dimaknai dengan baik oleh setiap ASN. Tidak sekadar menjadi jargon, tetapi harus diamalkan. ASN harus bisa mendobrak stigma negatif. Core value dan nilai dasar ini kemudian juga dilengkapi dengan employer branding ASN ”Bangga Melayani Bangsa”.
Pengalaman menunjukkan bahwa organisasi pemerintah dan perusahaan BUMN, apalagi yang berskala ”raksasa”, adalah organisasi yang paling sulit dibangun budaya organisasinya. Penyebabnya sama, terlalu sering berganti pemimpin puncak. Edgar Schein, guru besar dari Sloan/MIT, dalam Organizational Culture and Leadership (1992), menemukan bahwa antara budaya dan pemimpin seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Pemimpin hadir membangun budaya organisasi, yang dibawa dari nilai-nilai budaya personalnya, menjadi budaya semua orang, dan kemudian budaya itu mengikat semua orang secara ”tidak tampak” untuk bekerja secara terpadu dan harmonis mencapai tujuan organisasi.
Hadirnya upaya pada saat ini membangun budaya organisasi AKHLAK adalah baik dan perlu mendapat dukungan, tetapi sekaligus juga membuktikan bahwa upaya membangun budaya organisasi sebelumnya tidaklah berhasil, apa pun argumen resminya.
Tiga masalah
Terlalu banyak nilai menjadikan ”diingat saja sulit, apalagi dilaksanakan”. Belum lagi metode perumusannya yang cenderung sangat akademik. Jadi, secara substansi, sudah tepat menetapkan AKHLAK sebagai budaya organisasi pemerintah, apalagi maknanya memang mudah dipahami. Pertanyaannya adalah ”sampai kapan” nilai budaya ini diberlakukan? Pemimpin baru pemerintahan sangat mudah ”tergoda” untuk menanamkan legacy-nya dalam berbagai hal, setidaknya yang paling mudah membuat budaya organisasi sebagai branding mereka atas suatu masa kepemimpinan pada suatu organisasi.
Kedua, membangun budaya organisasi yang berhasil tidak dibuat dalam bentuk ”peraturan organisasi”, tetapi ”kesepakatan lintas organisasi” untuk menemukan nilai apa yang membuat mereka berhasil sebelumnya dan mendukung keberhasilan ke depan. Budaya organisasi berbeda dengan peraturan organisasi. Apalagi, pada organisasi pemerintahan, di mana seorang menteri atau kepala hanya bertahan rerata lima tahun, atau kurang. Pergantian pemimpin disertai pergantian budaya organisasi merusak budaya organisasi itu sendiri; setiap warga mengalami anomali dan akhirnya alienasi budaya. Mereka menerima dan melaksanakan budaya bukan sebagai nilai, melainkan sebagai aturan yang harus dipatuhi jika ”ingin selamat”.
Masalah ketiga, hampir semua pegawai pemerintah yang saya kenal adalah pribadi yang profesional, baik, jujur, dan bertanggung jawab. Mereka akan menerima nilai budaya apa saja yang diberikan pemimpin baru, sepanjang identik dengan nilai kebaikan yang mereka miliki. Kerusakan terjadi ketika pemimpin yang baru tidak segan-segan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bahkan membangun budaya korup; tidak segan-segan, misalnya, menyuruh birokrasi lebih melayani partainya daripada rakyat. Budaya organisasi bertemu dengan ”buaya organisasi”.
Benang merah
Upaya saat ini untuk menjadikan AKHLAK sebagai budaya organisasi birokrasi Indonesia adalah baik. Namun, metode, pendekatan, dan kebijakan yang digunakan tampaknya perlu ditingkatkan lagi agar tidak terulang kegagalan membangun budaya organisasi. Karena budaya organisasi adalah dimensi atau perangkat ”terlunak” dari organisasi, yang perlu pendekatan yang sesuai.
Sumber: Harian Kompas 28 Februari 2022